Catatan Kaki Nelayan Tuna Sendang Biru
Ketika mendengar Malang Selatan
mungkin yang terngiang dalam pikiran kita adalah keindahan pantai yang terdapat
di sana, di mana terdapat Sendang Biru, Pulau Sempu, Tamban, Bajul Mati, sampai
pada pantai Gua Cina. Memang pantai wilayah Malang Selatan mempunyai cita rasa
tersendiri bagi setiap orang yang pernah singgah di sana.
Jauh dari keindahan pantai yang
disuguhkan di wilayah Sendang Biru terdapat beberapa hal yang menarik untuk
kita cermati secara lebih mendalam. Jika kita berfikir sejenak, Sendang Biru merupakan pantai yang
sangat luas dan tentu saja memiliki kekayaan laut yang tidak ternilai
harganya.
Sendang biru merupakan ladang
penghidupan bagi para penduduk daerah tersebut bahkan bagi para nelayan yang
berasal dari luar daerah,
sebut saja Bugis yang sebagian masyarakatnya memang sebagai pelaut, NTT dan
masih banyak lagi suku bangsa dari daerah lain. Salah satu sumber penghidupan
di daerah tersebut adalah bekerja sebagai Nelayan Tuna. bayangkan saja sekali
melaut ikan tuna mereka bisa membawa pulang sekitar 20 juta, itu bukan nominal yang kecil
tentunya. Berdasarkan
paparan diatas, saya semakin tertarik tentang kehidupan nelayan tuna di sana.
Nelayan Tuna di Sendang Biru
kebanyakan merupakan suku Bugis, sedangakan penduduk asli yang berprofesi
sebagai nelayan tuna hanya beberapa saja karena mayoritas penduduk lebih
berprofesi sebagi nelayan kapal slerek. Nelayan Tuna di Sendang Biru sebagian
besar tidak mempunyai rumah tinggal menetap mereka kebanyakan memilih untuk kos
dan mengontrak rumah hal itu dikarenakan mereka bukan warga lokal jadi kalau
tidak musim Tuna atau pada hari - hari besar biasanya mereka pulang ke
daerahnya masing -masing. Itu
tadi sedikit gambaran secara umum nelayan tuna di
Sendang Biru.
Kita
berlanjut aset yang dimiliki oleh para nelayan tuna Sendang Biru, kapal yang mereka gunakan untuk melaut
sebagaian besar adalah milik para juragan kapal yang biasanya juga sekaligus
berprofesi sebagai pengambek, sehingga nanti pada akhirnya terdapat sistem bagi
hasil antara si pengambek dengan para nelayan. Hasil dari tangkapan para
nelayan pun bervariasi ada nelayan yang menangkap tuna sirip biru (bluefin tuna) dan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) di mana mereka
mengkategorikan yang dikatakan tuna layak jual dengan kualitas baik adalah tuna
yang mempunyai bobot diatas 20 kg. Memang apabila dilihat hasil tuna khususnya
di wilyah Jawa Timur, Sendang Biru merupakan penghasil tuna yang baik dengan
kualitas yang bagus.
Mengenai hasil tangkapan yang mereka
dapat, karena sesuai dengan apa yang disebutkan diatas, kebanyakan para nelayan
mengadakan kontrak peranjian dengan para pengambek yang nantinya dari pengambek
akan dijual ke perusahaan – perusahaan besar dimana proses tersebut
dilaksanakan di TPI. Membicarakan TPI tidak lengkap rasanya kalau kita tidak
menanyakan bagaimana peran TPI di daerah Sendang Biru terhadap para nelayan tuna.Dengan
adanya TPI di Sendang Biru sangat membantu para nelayan khususnya pengambek
dalam menjual tuna. TPI di Sendang Biru bisa dikatakan mempunyai peran sentral
dalam perdagangan tuna di Sendang Biru. “Semua tangkapan nelayan harus dijual
atau di lelang di TPI apabila ada nelayan menjual di luar TPI maka akan
dikenakan sanksi jadi nelayan di sini tidak ada yang berani melanggar aturan
itu” itu kutipan dari salah satu nelayan tuna yang saya ajak berbincang.
Secara umum dapat saya simpulkan bahwa proses melaut nelayan tuna di sana bisa saya berikan urutan
sebagai berikut:
- Terjadi pembicaraan kontrak
antara si nelayan dan di juragan kapal/ pengambek
- Si
pengambek menyiapkan semua kebutuhan untuk melaut seperti : perbekalan, alat
pancing dll. di samping itu apabila si nelayan/ kapten membutuhkan
pinjaman uang, si pengambek juga harus mau meminjami dengan ketentuan
hasil dari melaut nantinya dipotong hutang si nelayan
- Ikan
hasil melaut secara prosedural memang dijual atau di lelang di TPI, akan
tetapi penjualan yang di lakukan di TPI bukan dijual oleh para nelayan
akan tetapi di jual oleh para pengambek kepada perusahaan - perusahaan
besar
Ada hal menarik dari diskusi saya
dengan beberapa nelayan, terutama soal
si nelayan dengan si pengambek. “Dengan pendapatan
yang bisa dikatakan besar sekitar 20 juta sebenarnya mereka (nelayan tuna) bisa
membeli kapal yang kisaran harganya sekitar 75 sampai 150 juta” itu kata saya
terhadap nelayan. Dengan tersenyum dia menerangkan kepada saya “hasil tangkapan
tersebut tidak diterima semuanya oleh nelayan mas, tetapi kita ada bagi hasil
50 ; 50 kepada pemilik kapal/ pengambek, belum lagi kalau kita punya hutang,
jadi harus dipotong hutang juga mas, belum lagi harus membayar para ABK”.
Dari percakapan
diatas saya sedikit dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya pembagian hasil yang
dilakukan itu terlalu tinggi dan tidak sepadan dengan apa yang yang dikerjakan
oleh para nelayan. Hal
ini bisa dirasakan kurang begitu adil karena si pengambek hanya
bermodalkan kapal dan uang sementara si nelayan harus melaut kurang lebih
selama 10 -15 hari di lautan lepas dengan berbagai bahaya yang tidak terduga.
Tetapi walau kenyataannya demikian para nelayan tetap
mengatakan bahwa tetap menjalin hubungan baik dengan para pengambek karena pada
dasarnya mereka tetap saling membutuhkan satu sama lain. Banyak hal yang bisa
di dapat dari si pengambek kata si nelayan, diantaranya mereka mendapatkan
pinjaman yang cepat tanpa adanya aturan yang berbelit – belit dan mendapatkan bantuan
biaya – biaya yang dibutuhkan saat melaut, itu merupakan salah satu alasan
utama mengapa pengambek begitu berperan penting dalam kehidupan para nelayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar