Jumat, 08 Maret 2013


PEMBERANTAS KEMISKINAN & KECUKUPAN MODAL DI DUA DIMENSI BERBEDA
MELALUI MODEL APEX BPR DAN GRAMEEN BANK

Oleh:
Muhammad Khoirul Fuddin
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang
E-mail/No. Hp: foeddin@yahoo.com/ 085649947747

Abstract

This research is based on two models of the object model of the Grameen Bank that successfully implemented in rural communities of Bangladesh and APEX BPR models have been suggested by the Central Bank of Indonesia. It is expected that these two models can be reduced poverty in Indonesia. Conclusions can be drawn from this study is that the level of poverty later in Indonesia in handling through lending activities were not able to use only one in the same way. this is because, since this type of poverty in rural and urban areas have differences. With the APEX BPR is felt more appropriate to extend credit in the urban poor Grameen Bank model is more suitable to be applied to extend credit in rural communities.

Keywords: poverty, apex bpr, and grameen bank

Abstrak

Penelitian ini didasarkan pada dua model dari model obyek dari Bank Grameen yang berhasil diterapkan di masyarakat pedesaan di Bangladesh dan BPR APEX model telah diusulkan oleh Bank Sentral Indonesia. Diharapkan kedua model dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa tingkat kemiskinan kemudian di Indonesia dalam penanganan melalui kegiatan pinjaman tidak dapat menggunakan hanya satu dengan cara yang sama. ini karena, karena ini jenis kemiskinan di daerah pedesaan dan perkotaan memiliki perbedaan. Dengan BPR APEX dirasakan lebih tepat untuk memperpanjang kredit dalam model miskin perkotaan Grameen Bank lebih cocok diterapkan untuk memperpanjang kredit di masyarakat pedesaan.

Kata Kunci: kemiskinan, apex bpr, dan grameen bank




PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan permasalahan yang serius bagi  setiap negara. Banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan suatu negara. Salah satu factor penyebabnya adalah kurangnya jumlah modal yang dimilik ioleh masing – masing orang untuk mendirikan suatu usaha dalam menopang perekonomian per individu. Sebenarnya kekurangan modal bias diantisipasi dengan adanya pemberian kredit yang diberikan oleh lembaga keuangan bank ataupun non bank. Dengan adanya pemberian kreditini diharapakan mulai tumbuh UMKM (Usaha Menengah Kecil Mikro) dikalangan masyarakat menengah kebawah sehingga mampu mengurangi jumlah angka kemiskinan dan pada akhirnya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Kekurangan modal mungkin memang bisa dihindari dengan pemberian kredit kepada masyarakat kelas menengah kebawah. Apabila berbicara kredit maka hal yang paling banyak menjadi persoalan adalah resiko gagal bayar, pemberian kredit yang tepat dan proses pemberian termasuk syarat – syarat yang yang harus dipenuhi oleh para peminjam. Jadi dalam prakteknya kredit mempunyai berbagai permasalahan, antara lain yaitu: Pertama, dengan adanya pemberian kredit kepada Usaha Kecil Mikro pihak perbankan kurang bias memaksimalkan keuntungan karena biasanya Usaha Kecil Mikro hanya meminjam dalam jumlah kecil.
Kedua, terdapat resiko gagal bayar yang cukup tinggi apabila pihak lembaga keuangan salah menyalurkan kredit kepada Usaha Kecil Mikro karena biasanya Usha Kecil Mikro kurang mempunyai barang likuid yang bias dijaminkan untuk memperoleh pinjaman. Ketiga, biaya administrasi yang dikenakan oleh pihak keuangan cenderung sama antara Usaha Kecil Mikro dengan perusahaan – perusahaan besar, sehingga pada akhirnya pihak lembaga keuangan kurang memprioritaskan Usaha Kecil Mikro. Keempat, sistem atau tata cara kredit yang ada di bank umum biasanya dianggap terlalu menyulitkan pihak Usaha Kecil Mikro yang biasanya mayoritas pemilikdari Usaha Kecil Mikro adalah lulusan SLTA.
Dengan adanya beberapa kendala ini, biasanya para masyarakat menengah kecil yang memiliki usaha kecil lebih tertarik kepada BPR atau pun lembaga keuangan lain bahkan kepada para rentenir karena dengan adanya lembaga – lembaga tersebut pihak Usaha Kecil Mikro berpendapat bahwa akan lebih cepat mendapatkan kredit tanpa adanya syarat atau sistem yang dianggap memberatkan walaupun dengan konsekuensi harus membayar dengan tingkat suku bunga yang cukup tinggi.
Ternyata persoalan ini tidak hanya berhenti dari lembaga keuangan mana yang dituju dalam menerima pinjaman tetapi juga di sini terdapat suatufakta baru yang dapat menentukan tingkat keberhasilan pinjaman masyarakat miskin dalam Usaha Kecil Mikro. Persoalan baru yang muncul di sini adalah terdapat penggolongan masyarakat miskin menurut wilayah desa dan kota yang ada di Indonesia.
Bagi masyarakat miskin di kota solusi dari kekurangan modal dalam Usaha Kecil Mikro mungkin bias diselesaikan dengan BPR yang ada di wilayah kota, akan tetapi bagi masyarakat miskin di wilayah desa BPR mungkin masih kurang begitu optimal dalam penyelesaian masalah kekurangan modal bagi Usaha Kecil Mikro.
Dilihat dari segi pendapatan ataupun tingkat pendidikan masyarakat miskin di daerah kota dan desa mempunyai perbedaan. Di sisi lain BPR dalam memenuhi kebutuhan kecukupan modal Usaha Kecil Mikro di kalangan masyarakat miskin kota dirasa bisa optimal dikarenakan syarat dan prosedur yang diajukan dirasa dapat dilpenuhi oleh masyarakat miskin kota, sebaliknya bagi masyarakat miskin desa syarat dan prosedur yang diajukanoleh BPR mungkin akan sedikit menyulitkan.
Solusi yang dirasa dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah kekurangan modal yang terjadi pada Usaha Kecil Mikro bagi masyarakat miskin desaa dalah dengan berlakunya atau berdirinya Grameend Bank dimana syarat dan prosedur penjaman kredit produktif memang benar – benar dikhususkan kepada masyarakat desa.
Dari paparan latar belakang di atas, maka penulis berusaha menganggkat topik “Pemberantas Kemiskinan & Kecukupan Modal di Dua Dimensi Berbeda Melalui Model APEX BPR Dan Grameen Bank”.Dengan adanya dua sistem yang berbeda yang diterapkan kepada masyarakat miskin desa dan kota ini diharapkan proses pinjaman kecukupan modal yang ada di Usaha Kecil Mikro di kota dan desa dapat terpenuhi sehingga nantinya dapat menganggkat pertumbuhan ekonomi secara nasional dan semakin mengecilkan angka kemiskinan yang ada di Indonesia.

KRITERIA DAN BATASAN PENDUDUK MISKIN INDONESIA
Sebelum berlanjutan tentang model APEXBPR dan Grameen Bank sebagai solusi pemberantas kemiskinan & kecukupan modal di dua dimensi berbeda yaitu antara masyarakat miskin kota dan desa, terlebih dahulu kita harus mendefinisikan kriteria dan batasan miskin penduduk Indonesia.
BPS telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (2005), rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin yang apabila memenuhi salah satu kriteria dikategorikan sebagai “miskin”. ciri tersebut yaitu: 1) Hidup dalam rumah dengan ukuran lebih kecil dari 8 M2 per orang; 2) Hidup dalam rumah dengan lantai tanah atau lantai kayu berkualitas rendah/ bamboo; 3) Hidup dalam rumah dengan dinding terbuat dari kayu berkualitas rendah/ bambu/ rumbia/ tembok tanpa diplester; 4) Hidup dalam rumah yang tidak dilengkapi dengan WC/ bersama - sama dengan rumah tangga lain; 5) Hidup dalam rumah tanpa listrik; 6) Tidak mendapatkan fasilitas air bersih/ sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan; 7) Menggunakan kayu bakar, arang atau minyak tanah untuk memasak; 8) Mengkonsumsi daging atau susu seminggu sekali; 9) Belanja satu set pakaian baru setahun sekali; 10) Makan hanya sekali atau dua kali sehari; 11) Tidak mampu membayar biaya kesehatan pada Puskesmas terdekat; 12) Pendapatan keluarga kurang dari Rp. 600.000,- per bulan; 13) Pendidikan Kepala Keluarga hanya setingkat Sekolah Dasar; 13) Tidak memilik tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,-(kendaraan, emas,ternak dll); 14) Mempekerjakan anak di bawah umur dan tidak mampu membiayai anak untuk sekolah.
Ada satu kriteria tambahan lagi, hanya tidak terdapat dalam leaflet bahan sosialisasi Departemen Komunikasi dan Informatika tentang kriteria rumah tangga miskin, yaitu rumah tangga yang tidak pernah menerima kredit usaha UMKM/ KUMKM setahun lalu.
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan di atas, di sini penulis berusaha membatasi ruang lingkup penelitiannya dari sudut pandang moneter yaitu kriteria penduduk miskin dilihat dari rumah tangga yang tidak pernah atau belum mendapatkan kredit usaha UMKM/ KUMKM.
Dengan adanya fokus terhadap kredit yang diberikan kepada keluarga miskin diharapkan disini kemiskinan bisa dihindari dan diperbaiki secara efisien dan efektif. Karena dengan memberikan bantuan dana kepada kelompok miskin itu dirasa lebih produktif dari pada bantuan yang diterapkan oleh pemerintah saat ini yaitu BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang dirasa bukan solusi untuk mencegah kemiskinan, tetapi sebaliknya malah mendorong masyarakat miskin untuk semakin bertindak konsumtif dengan bantuan yang diterimanya. Karena BLT tidak memberikan dampak kepada masyarakat untuk semakin produktif, BLT hanyalah digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Berbeda dengan diberikannnya kredit di sini masyarakat di dorong untuk melakukan kegiatan produktif dan adanya tindakan monitoring dari kredit yang diberikan sehingga dirasakan bantuan kredit lebih pantas dan produktif bagi masyarakat miskin.

Tabel 1. Jumlah Keluarga Mendapatkan Kredit Mikro/ Bantuan Modal Hasil Pendataan
  Keluarga 2011

No

Provinsi
Keluarga mendapat
Bantuan modal
Jumlah
Kepala Keluarga
Ya
%
Tidak
%
31
DKI Jakarta
61,547
3.52
1,686,839
96.48
1,748,386
32
JawaBarat
1,001,968
8.54
10,734,361
91.46
11,736,329
33
JawaTengah
1,222,544
12.45
8,593,993
87.55
9,816,537
34
DIYogyakarta
92,018
9.90
837,218
90.10
929,236
35
JawaTimur
962,941
8.60
10,238,757
91.40
11,201,698
51
Bali
55,281
5.89
883,525
94.11
938,806
36
Banten
313,792
12.49
2,198,161
87.51
2,511,953
JAWABALI
3,710,091
9.54
35,172,854
90.46
38,882,945
11
Aceh
112,410
10.09
1,001,280
89.91
1,113,690
12
SumateraUtara
43,852
1.40
3,094,805
98.60
3,138,657
13
SumateraBarat
165,386
13.77
1,035,780
86.23
1,201,166
16
SumateraSelatan
61,188
3.11
1,905,336
96.89
1,966,524
18
Lampung
49,413
2.41
1,998,331
97.59
2,047,744
52
NusaTenggaraBarat
136,763
9.71
1,271,813
90.29
1,408,576
61
KalimantanBarat
50,446
4.38
1,101,541
95.62
1,151,987
63
KalimantanSelatan
42,316
4.10
989,755
95.90
1,032,071
71
SulawesiUtara
96,754
15.39
531,725
84.61
628,479
73
SulawesiSelatan
189,167
9.46
1,810,005
90.54
1,999,172
19
BangkaBelitung
9,924
2.85
337,862
97.15
347,786
75
Gorontalo
79,992
27.92
206,540
72.08
286,532
76
SulawesiBarat
25,986
9.30
253,330
90.70
279,306
LUARJAWABALII
1,063,597
6.41
15,538,103
93.59
16,601,690
14
Riau
48,856
4.12
1,137,719
95.88
1,186,575
15
Jambi
54,918
6.71
763,315
93.29
818,233
17
Bengkulu
28,727
6.19
435,475
93.81
464,202
53
NusaTenggaraTimur
203,439
19.03
865,739
80.97
1,069,178
62
KalimantanTengah
14,823
2.76
523,069
97.24
537,892
64
KalimantanTimur
52,674
6.76
726,497
93.24
779,171
72
SulawesiTengah
89,415
13.23
586,275
86.77
675,690
74
SulawesiTenggara
50,126
9.34
486,394
90.66
536,520
81
Maluku
6,865
2.07
324,019
97.93
330,884
91
Papua
5,099
0.82
617,173
99.18
622,272
82
MalukuUtara
9,004
3.45
252,310
96.55
261,314
92
PapuaBarat
4,188
2.07
198,135
97.93
202,323
21
KepulauanRiau
29,717
6.73
412,043
93.27
441,760
LUARJAWABALIII
597,851
7.54
7,328,163
92.46
7,926,014
NASIONAL
5,371,539
8.47
58,039,120
91.53
63,410,649

UMKM DI INDONESIA
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peranan penting dalam perekonomian di Indonesia. UMKM memiliki proporsi sebesar 99,99% dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia atau sebanyak 52,76 juta unit (BPS,2009).  Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 tersebut juga menunjukkan bahwa UMKM terbukti berkontribusi sebesar 56,92% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atau setara dengan Rp1.213,25 Triliun. Selain itu, UMKM memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja (menyerap 97,3% dari total angkatan kerja yang bekerja) dan memiliki jumlah yang besar dari total unit usaha di Indonesia serta kontribusi yang cukup besar terhadap investasi di Indonesia yaitu sebesar Rp222,74 Triliun atau 51,80% dari total investasi pada tahun 2008.
Pengembangan UMKM semakin gencar dilakukan pemerintah dan pihak lainnya untuk meningkatkan kinerja sektor ini. Upaya mencapai pengembangan UMKM ini salah satunya dilakukan melalui pengembangan UMKM yang dalam pelaksanaan mengacu pada ASEAN Policy Blue Print for SME Development  (APBSD) 2004-2014. Dalam APBSD, pengembangan UMKM dilaksanakan melalui lima program yaitu program pengembangan kewirausahaan, peningkatan kemampuan pemasaran, akses kepada keuangan, akses kepada teknologi dan kebijakan yang kondusif.
Akan tetapi, pengembangan UMKM ini masih menghadapi kendala terutama dalam mengakses biaya dari sektor perbankan. Kendala UMKM terhadap kredit perbankan ini bisa ditinjau dari sisi permintaan dan panawaran. Dari sisi permintaan, UMKM memiliki karakteristik yang cukup unik dimana pada umumnya UMKM tidak memiliki informasi keuangan yang transparan dan terorganisir yang menyebabkan pemberi kredit memiliki kesulitan dalam memperoleh informasi mengenai kondisi keuangan dan usaha dari UMKM. Hal tersebut dapat menyebabkan bank kesulitan dalam meminimalisir risiko  default atas kredit yang dapat disalurkan kepada UMKM. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian di beberapa negara, seperti Brazil, Peru, dan sejumlah negara di Afrika Selatan (Cravo, 2010; Falkena dan Herrero, 2008).
Dari sisi penawaran kredit, penelitian yang dilakukan oleh Ali (2008) menyebutkan bahwa keengganan bank dalam memberikan kredit terhadap UMKM terutama disebabkan oleh keterbatasan aset yang dapat dijadikan sebagai jaminan (collateral), ketidakpastian bisnis di masa depan, lemahnya manajemen keuangan, dan kurangnya  track record.
Adapun pengelolaan UMKM di Indonesia dilakukan di bawah Kemenkop dan UMKM. Dalam rangka mewujudkan pengembangan UMKM di Indonesia, Kemenkop dan UMKM memiliki beberapa strategi. Di dalam rencana strategis Kemenkop dan UMKM tahun 2010 – 2014, dijelaskan bahwa arah kebijakan yang dikeluarkan memiliki beberapa fokus yang berkaitan dengan UMKM, yaitu peningkatan iklim usaha yang kondusif (pengembangan peraturan dan perundang-undangan yang memudahkan, pembentukan forum dan peningkatan koordinasi antar lembaga yang berkaitan dengan UMKM, peningkatan kemampuan dan kualitas aparat, pengembangan model teknologi untuk mendukung UMKM, dan lain-lain), peningkatan akses terhadap sumber daya produktif (penguatan permodalan UMKM, pengupayaan penurunan suku bunga pinjaman bagi UMKM, restrukturisasi usaha, peningkatan produktivitas dan mutu, pemberdayaan lembaga pengembangan bisnis, fasilitas investasi UMKM, dan pengembangan sistem bisnis), pengembangan produk dan pemasaran (pemanfaatan ilmu dan teknologi, penguatan jaringan usaha dalam dan luar negeri, dan fasilitasi promosi), dan peningkatan daya saing SDM (pengembangan kewirausahaan, manajerial, keahlian teknis, dan kemampuan dasar).
Selain fokus strategi tersebut, kebijakan Kemenkop dan UMKM juga dimaksudkan untuk mendukung manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya, meningkatkan sarana dan prasarana aparatur kementerian, dan mengembangkan program dan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan UMKM. Di samping program-program yang dijalankan oleh Kemenkop dan UMKM, beberapa lembaga lain di Indonesia juga melakukan usaha untuk membantu perkembangan UMKM. Sebagai contoh, Bank Indonesia memiliki kebijakan untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan yang salahsatunya bertujuan untuk membantu akses pendanaan bagi UMKM. Kebijakan ini tertuang baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 6/25/PBI/2004 dan SE Nomor 6/44/DPNP mengenai rencana bisnis bank umum dalam menyalurkan kredit pada UMKM bertujuan untuk mengetahui sejauh mana komitmen bank dalam pemberian kredit bagi UMKM. Di sisi permintaan, program Bank Indonesia difokuskan pada penguatan lembaga pendamping UMKM dalam bentuk kegiatan pelatihan dan penelitian. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 135/PMK/.05/2008 mengeluarkan program penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tujuannya mengembangkan UMKM dan koperasi secara berkesinambungan. Peraturan ini kemudian mengalami revisi dalam hal jangka waktu kredit, retstrukturisasi, dan plafon pinjaman dengan dikeluarkannya PMK No.10/PMK.05/2009. Contoh lainnya adalah keberadaan perusahaan penjaminan kredit seperti Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) yang bertujuan untuk meningkatkan akses UMKM terhadap kredit dengan memberikan jasa penjaminan. Selain itu, saat ini sedang dalam pembahasan adalah pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD).
Usaha Kecil dan Menengah, termasuk mikro, di Indonesia saat ini mempunyai kontribusi yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan perekonomian Indonesia. Keberdayaannya menghadapi krisis dan kontribusinya terhadap perekonomian negara menjadikan UMKM sebagai subyek banyak pihak.
UMKM di Indonesia pada tataran kebijakan dan pelaksanaan menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan pertama timbul karena  pendefinisian yang berbeda antar lembaga pemerintah. Perbedaan inilah yang “mungkin” menyebabkan kebijaksanaan pemerintah terhadap UMKM terkesan bersifat ad hoc. Dari beragam definisi, yang paling terukur adalah definisi UMKM versi Bank Indonesia, yakni: 1) Menunjuk maksimum aset dimiliki; 2) Menunjuk maksimum hasil penjualan; 3) Dimiliki oleh WNI; 4) Tidak berafiliasi dengan badan usaha menengah atau besar; 5) Berbadan hukum.
Permasalahan kedua, definisi yang berbeda mengakibatkan UMKM kesulitan mendapatkan informasi dan akses pada banyak hal secara operasional. Misalnya kesulitan dalam pemasaran, ketidakadaan kepercayaan lembaga karena ketiadaan bentuk badan hukum, tidak memiliki laporan keuangan, tidak memiliki agunan, ketidakmampuan membuat proposal kredit yang komprehensif.
Kategorisasi persoalan pembiayaan UMKM berdasarkan hasil observasi tim peneliti terhadap UMKM di Indonesia menunjukkan bahwa untuk dapat menjadi  bankable, paling tidak terdapat enam aspek lain selain aspek  entrepeneurship  yang harus dibenahi. Posisi UMKM pertama kali, meski tidak selalu, berada pada zona potensial, kemudian naik pada posisi feasible.  Pergeseran ini terjadi ketika UMKM mulai meningkatkan kualitas produksi, misalnya adanya quality control , dan mulai menggunakan sistem pemasaran. Pada tabel di bawah ini, tampak bahwa untuk menjadi UMKM yang  bankable enam aspek harus dipunyai dengan penekanan pada aspek  entrepreneurship, produk, produksi/operasi, pemasaran dan legal. Adanya lembaga pemeringkat seharusnya bisa membantu mempercepat assessment dan kekurangan aspek dari yang sebelumnya implisit, menjadi eksplisit dengan adanya penilaian lembaga pemeringkat misalnya terhadap ketidakadaan aspek keuangan dan permodalan.
Permasalahan ketiga  yang dihadapi UMKM adalah persoalan struktural pendirian dan pengoperasian badan usaha, hal ini berbeda dengan persoalan usaha besar yang lebih merupakan persoalan skala usaha. Jika kita lihat kembali struktur unit usaha, terlihat bahwa UMKM adalah sektor yang  labor intensive  bukan  capital intensive , sehingga tidak membutuhkan modal dalam skala yang besar. Kebutuhan pembiayaan lebih bersifat pada pembiayaan jangka pendek (modal kerja) dengan siklus yang tetap dan berulang-ulang tergantung dari industrinya.

MODEL APEX BPR
Terminologi Apex yang dalam  bahasa Yunani berarti “pengayom” secara harfiah memberikan amanat kepada lembaga yang ditunjuk untuk bertindak   sebagai Apex, menjadi pengayom bagi lembaga - lembaga yang menjadi  anggotanya. Menurut praktek umum (common practice) yang berlaku di negara-negara lain, fungsi lembaga Apex dititikberatkan pada peran dalam penyatuan/ pengumpulan dana (pooling of funds), pemberian bantuan keuangan (financial assistance) dan dukungan teknis (technical support).
Berdasarkan pembelajaran selama beberapa waktu, diketahui pula bahwa bentuk paling ideal lembaga  Apex adalah bank umum  atau unit bank umum, karena  (i) mampu  menjalankan fungsi - fungsi  Apex, terutama terkait  dengan penyediaan fasilitas/ akses kepada  sistem pembayaran; (ii) memiliki kemampuan manajerial yang lebih unggul dalam pengelolaan dana, (iii) memiliki kemampuan permodalan yang relatif kuat, dan (iv) memiliki instrumen  yang lengkap  dalam rangka pengelolaan dana yang terkumpul.
Namun  demikian,  hal yang paling utama  yang mendasari  kerjasama  Apex ini adalah komitmen bank umum untuk mengayomi BPR dan kemudian  secara bersama-sama mengarahkan tujuan  akhir pada  peningkatan jumlah  UMKM yang terlayani dengan suku bunga  yang relatif rendah/terjangkau.
Faktor   penting    dalam   mendukung  percepatan  pertumbuhan ekonomi  adalah  dengan mengoptimalkan kontribusi  sektor keuangan termasuk  perbankan dalam  membuka akses  layanan jasa keuangan, terutama dalam bentuk  pembiayaan, seluas mungkin  kepada  pelaku usaha  terutama UMKM. Untuk itu, perlu upaya untuk mendorong pemanfaatan sektor keuangan dalam perekonomian masyarakat. Hal tersebut yang menjadi esensi kebijakan inklusi keuangan (financial inclusion) yang tercakup dalam sebuah “Strategi Nasional Inklusi Keuangan”.
Sektor UMKM sebagai unit bisnis yang mendominasi dunia usaha di Indonesia (mencapai 99,91%), belum seluruhnya memperoleh pembiayaan perbankan. Tercatat sebesar + 60% UMKM dari total 51,3 juta unit UMKM belum terhubung pada layanan perbankan. Sejalan dengan jumlah tersebut, porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan hanya sebesar 21,5% (ini didasarkan pada pengertian UMKM menurut UU No.20  Tahun 2008  yang  tidak memasukkan  kredit  untuk   keperluan   konsumsi   dalam   definisi kredit  UMKM). Porsi ini jauh lebih kecil nilainya dibandingkan pangsa kredit MKM menurut plafon yang mencapai 53,2%  dari total kredit perbankan.
Untuk itu, perlu sinergi yang terarah  antara  bank umum  dan BPR dalam   upaya   peningkatan  kontribusi   pembiayaan  perbankan kepada  usaha  MKM dalam  kerjasama  Apex BPR. Melalui format kerjasama   ini, bank umum dan BPR diharapkan dapat saling mendukung dengan mengoptimalkan keunggulan sumber daya yang dimiliki masing - masing pihak, dengan fokus yang mengarah pada pemberdayaan sektor UMKM.
Daya tarik dan potensi sektor UMKM yang besar menarik minat bank umum untuk  mengarahkan strategi  bisnisnya pada  pembiayaan retail khususnya  UMKM. Kondisi ini mendorong persaingan yang ketat  dengan BPR  yang  sejak awal keberadaannya mengemban amanat  untuk   mengutamakan  pembiayaan  usaha   mikro  dan kecil.
Melalui kerjasama  Apex BPR, bank  umum  dan  BPR diharapkan dapat  saling bahu  membahu dengan mengoptimalkan kekuatan dalam  pembiayaan UMKM. Bank umum  yang  memiliki sumber dana  relatif lebih besar  dan  dukungan teknologi  yang  memadai diharapkan  dapat   menjalin  sinergi  dengan  BPR yang  memiliki keunggulan pengalaman dan sebaran  jaringan kantor untuk dapat melayani UMKM yang tersebar  di berbagai  pelosok negeri.
Adapun manfaat kerjasama Apex BPR yaitu bagi Bank Umum: 1) Menjadikan jaringan kantor BPR sebagai kepanjangan tangan Bank Umum untuk  melayani wilayah dan masyarakat yang belum terlayani, antara lain melalui linkage program; 2) Menciptakan produk dan jasa bersama untuk menjangkau dan melayani nasabah yang lebih luas; 3) Memanfaatkan pooling funds (idlefunds) BPR sebagai sumber dana kelolaan; dan 4) Memiliki peluang untuk  menghasilkan fee based income dari pemanfaatan transaksi  oleh   BPR melalui jaringan  ATM bank umum.
Adapun manfaat bagi BPR yaitu: 1) Memiliki lembaga pengayom yang dapat memberikan dukungan financial (khususnya dalam kondisi kekurangan likuiditas/ mismatch) maupun bantuan teknis kepada BPR; 2) Menjadikan Apex sebagai lembaga yang menyediakan jasa sistem pembayaran khususnya dalam rangka pemindahan dan antar nasabah sesama anggota Apex; 3) Melakukan kerjasama dalam pemanfaatan produk/ jasa berbasis teknologi  informasi (seperti ATM) dan pemasaran produk/jasa lainnya; 4) Memperoleh layanan - layanan lainnya dari Apex dalam rangka pengembangan kapasitas dan kompetensi SDM BPR, seperti pendampingan dan pelatihan.
Sedangkan manfaat bagi masyarakat miskin kota yaitu: 1) Membantu bagi pemenuhan kredit produksi yang dibutuhkan bagi masyarakat miskin perkotaan dalam pemberdayaan UMKM; 2) Penerimaan dana kredit dan pelayanan yang di dapat oleh masyarakat miskin lebih meningkat karena BPR telah mendapatkan bantuan dana dan transformasi teknologi dari Bank Umum; 3) Bertambahnya informasi yang dimiliki oleh masyarakat terutama dalam masalah pembiayaan kredit UMKM

MODEL GRAMEEN BANK
Grameen Bank atau Bank Desa adalah model perbankan yang berasal dari Bangladesh yang didirikan oleh Muhammad Yunus yang profesinya sebagai pengajar ilmu ekonomi di Universitas Chittagong Bangladesh. Latar belakang berdirinya bank tersebut dikarenakan ketidak puasan atas sistem perbankan dan perkreditan yang ada di negaranya maupun di dunia yang pada dasarnya perbankan tidak ingin berhubungan dengan : a) orang miskin, b) orang buta huruf dan c) kaum wanita (Pandu Suharto, 1991: 38, 1996: 4).
Meskipun perbankan di Bangladesh memberikan kredit kepada masyarakat, namun bank-bank tersebut hanya melayani orang-orang kaya. Ini nampak dari ketentuan dan peraturannya yang hanya dapat dipenuhi oleh golongan tersebut. Seperti menyangkut masalah jaminan kredit, persyaratan ini merupakan prinsip yang fundamental dalam pemberiari kredit, Disamping itu semua transaksi harus didukung dengan dokumen' tertulis. Padahal sebagian- besar penduduk (80 persen) negara Bangladesh adalah buta huruf, maka jelaslah perbankan bukanlah dimaksudkan untuk melayani mereka. Begitu pula - perbankan juga tidak melayani kebutuhan para wanita terlebih lagi apabila - mereka miskin dan buta huruf (Pandu Suharto, 1991A2,1996-4).
Alasan tidak maunya perbankan melayani kebutuhan kredit masyarakat kecil atau orang-orang miskin adalah 1) orang-orang miskin tidak mempunyai barang-barang atau kekayaan yang dapat dijadikan agunan pinjamannya; 2)mereka tidak, dapat mengisi formulir-formulir yang rumit karena sebagian terbesar dari mereka tidak dapat membaca dan menulis; 3) perbankan tidak suka melayani kebutuhan kredit yang kecil-kecil yang banyak jumlahnya sehingga memerlukan banyak pekerjaan dan mengandung resiko yang tinggi; dan 4) perbankan takut bunga pinjaman yang diterima tidak dapat menutup biaya pelayanan pinjaman kecil yang: banyak jumlahnya (Thoha, M, 2000: 16).
Proyek Grameen Bank mulai dilaksanakan di Bangladesh tahun 1976 tepatnya di desa Jobra. Tujuannya untuk memenuhi, kebutuhan kredit orang-orang miskin di desa tersebut. Setelah Grameen Bank berhasil diterapkan di desa Jobra, maka Muhammad Yunus mengajak bekerjasama para pimpinan bank untuk mengadakan uji coba Grameen Bank ke daerah lainnya di Bangladesh selama 3 tahun. Disini dia akan nembuktikan bahwa orang-orang yang sangat miskin adalah "bank able_". Ajakan ini .diterima oleh para pimpinan. bank-bank dan mereka menentukan daerah Tangail sebagai daerah operasi proyek Grameen Bank. Setelah 3 tahun uji coba dilakukan dengan penuh ketekunan, maka pada akhir tahun 1982 Muhammad Yunus dan timnya berhasil mendirikan pusat Grameen Bank di 745 desa di daerah Tangail dengan jumiah debitur mencapai 24.177 orang dan pinjaman yang telah diberikan sebesar. Taka 95.578.000 atau, sekitar US$ 4 juta, dengan tingkat pengembaliannya lebih dari 99 persen. Disamping itu dana tabungan kelompok yang dapat dihimpun sebesar Taka 8.143.000 atau sekitar US$ 325.000. Dengan demikian orang-orang miskin di Tangail telah membuktikan bahwa . mereka adalah "bank able". Setelah uji cobs selama 3 tahun di Tangail, proyek Grameen Bank menjadi program kredit pedesaan untuk orang­orang sangat miskin yang efektif dan efisien. Keberhasilan tersebut menjadikan perbankan di Bangladesh tidak mau mengabaikan program untuk orang-orang miskin yang telah berhasil melalui ujian yang berat dan pemerintah Bangladesh sangat terkesan dengan apa yang telah dicapai oleh program tersebut (Pandu Suharto,1991: 44­45).
Setelah keberhasilan di Tangail, maka proyek Grameen Bank selanjutnya dikembangkan di empat distrik, yaitu Chittagong, Dhaka, Rangpur dan Patuakhali dengan bantuan dana. dari International Fund for Agricultural Development (IFAD) sebesar.US$ 3,4 juta, yang disalurkan melalui Bangladesh Bank. Disamping itu, Bangladesh Bank juga memberi kucuran dana dalam jumlah yang sama dengan dana yang diberikan IFAD.
Tepat tanggal 1 September 1983, proyek Grameen Bank diresmikan menjadi bank melalui ordonasi Pemerintah dengan nama Grameen Bank (Bank Desa). . Disini pemerintah menyediakan 60 persen dari modal dasar yang disetor sedangkan 40 persen dari modal berasal dari peminjam, yaitu para anggota. Pada scat proyek Grameen Bank diresmikan. menjadi Grameen Bank,: daerah .operasinya telah mencapai 5 buah distrik di Bangladesh, :yang meliputi 1.025 desa dengan cabang sudah mencapai 77 unit.
Menurut Pandu Suharto (1996:6-8), falsafah dasar dari program perkreditan Grameen Bank adalah kredit yang diberikan kepada orang-orang miskin adalah penting. Hal ini disebabkan kredit tersebut dapat membantu mereka dalam peningkatan pendapatan, dan merekapun mempunyai kemampuan untuk mengembalikan kredit tersebut.
Dengan begitu langkah yang dapat dilakukan guna membantu masyarakat miskin keluar dari kemiskinan adalah penyediaan sumber permodalan yang dapat dimanfaatkan oleh mereka dengan cara rasional dan komersial, tetapi dengan persyaratan dan prosedur yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Ternyata pemberian pinjaman Grameen Bank tanpa agunan tersebut dapat dikembalikan dengan tingkat yang sangat tinggi yaitu sebesar 98 %.
Asumsi yang menyatakan bahwa orang miskin ' tidak punya ketrampilan, kurang motivasi, tidak mempunyai pandangan ke depan serta tidak mempunyai ketrampilan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri dikritik oleh pendiri Grameen Bank dan Fugelsang (dalam Djumilah Zein, 1996). Menurut Fugelsang orang miskin punyai berbagai macam ketrampilan yaitu : a) listening skill, b) memory skill, c) survival skill, d) resources utilization skill, dan e) occupation skill. Meskipun demikian tidak berarti bahwa pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan bare atau lainnya tidak penting. Tetapi akan lebih mudah bila pengembangan ' dilaksanakan bila didasarkan pada ketrampilan yang sudah mereka miliki.
Adapun prinsip-prinsip Grameen Bank meliputi empat belas butir (Pandu Suharto, 1996:7-8) yaitu: 1) Hanya orang yang sangat miskin dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pihak Bank dapat menjadi nasabah dan memperoleb pinjaman. Kriteria orang miskin di Bangladesh adalah bila memiliki tanah seluas kurang dan 0,5 acre (sekitar 2036 m2) dais kekayaan lain yang dimiliki nilainya kurang dari nilai 1 acre (sekitar 4072 m2) tanah yang berkualitas sedang; 2) Pinjaman diberikan tanpa agunan atau penjamin; 3) Prosedur pinjaman dibuat sederhana; 4) Pinjaman diberikan untuk kegiatan produktif; 5) Pinjaman yang diberikan adalah relatif kecil dengan angsuran mingguan selama satu tahun; 6) Peminjam diorganisasikan dalam kelompok yang terdiri dari 5 orang; 7) Pinjaman diberikan secara berturutan, yaitu mula-mula 2 orang anggota yang paling membutuhkan diberi prioritas pertama untuk menerima pinjaman, kemudian menyusul dua anggota lainnya menerima pinjamannya dan yang terakhir menerima pinjaman adalah anggota kelima. Penentuannya ditetapkan sendiri oleh kelompok; 8) Pengawasan dilakukan dalam penggunaan pinjaman; 9) Peminjam diberi kemungkinan meminjam kembali setelah pinjamannya tunas; 10) Setiap peminjam dipotong 5% untak Dana Tabungan Kelompok, dan setiap minggu anggota menabung I Taka' (kira-kira Rp.50,-) yang dimasukkan kedalam Dana Tabungan Kelompok; 11) Setiap anggota membayar sejumlah uang sebesar 25% dari bunga yang dibayar untuk disetor kedalam Dana Darurat. Pada dasarnya dana ini merupakan dana untuk asuransi terhadap . kemacetan pinjaman, kematian, cacat tubuh dan kecelakaan; 12) Bunga pinjaman sebesar 16 persen yang ditarik menjelang akhir mass pinjaman sebagai dua angsuran terakhir; 13) Sejumlah kelompok di desa yang sama terdiri dari 6 sampai 8 kelompok mengadakan rapat mingguan bersama. Pertemuan atau rapat ini dikenal sebagai rapat pusat atau "center"; 14) Semua transaksi Grameen Bank dengan anggota kelompok dilaksanakan pada waktu rapat mingguan dari pusat. Petugas Grameen Bank menghadiri rapat tersebut untuk. menerima angsuran pinjaman dan menghimpun Dana Tabungan Kelompok dan Dana Darurat untuk disimpan di bank. Semua urusan pinjaman dibahas pula dengan petugas bank dalam rapat tersebut.
Adapun menurut David S. Gibbons, dalam Djumilah Zain (1996:45), faktor - faktor yang melatar belakangi keberhasilan GB adalah sebagai berikut: Pertama, adanya hubungan yang erat,  Dikembangkannya hubungan yang erat antara GB dengan anggota yang dibina dan antara sesama anggota binaan itu sendiri.
Kedua, kontrol dan solidaritas kelompok. Adanya pembentukan Kelompok yang beranggotakan 5 orang per kelompok dan bergabung dengan kelompok-kelompok lain pada rembug pusat, maka tercipta system kontrol diantara anggota kelompok yang berfungsi meminimalkan peluang terjadinya pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan bersama. Kesungguhan dalam mendekati rumah tangga miskin Dalam membentuk kelompok tidak diperbolehkan mencampurkan antara rumah tangga miskin dengan yang tidak miskin. Dengan demikian dalam membentuk kelompok binaan GB diperoleh rumah tangga yang benar-benar sangat miskin. Adapun strategi yang sangat bermanfaat bagi GB dalam mencapai kelompok miskin adalah memulai kegiatan dengan menetapkan wanita sebagai binaan. Di masyarakat miskin Bangladesh, sangat sulit menarik minat wanita supaya membentuk kelompok dan mengajukan pinjaman kepada Grameen Bank (GB). Adapun penyebabnya adalah tantangan dari tokoh masyarakat dan masyarakat mengenai kemudaratan wanita bila memperoleh pinjaman, sehingga menghambat proses pembentukan kelompok. Dan ternyata hanya wanita yang kondisinya sangat miskin saja yang berani membentuk kelompok untuk memperoleh pinjaman. Pembentukan kelompok memerlukan waktu yang cukup longgar Proses pembentukan kelompok, merupakan kekuatan GB. Namun diperlukan waktu yang cukup lama karena calon-calon anggota belum saling mengenal. Sehingga perlu sating mengenal dan penilaian sate dengan yang lain, baru kemudian mereka bersepakat membentuk kelompok. Kemudian .petugas. GB memberi pelatihan (latihan wajib kumpul) dan memberi penilaian terhadap mereka tentang lulus tidaknya. Setelah dinyatakan lulus orang miskin merasa mendapat pengakuan dan kehormatan yang selama ini tidak pernah mereka rasakan. Hal ini menimbulkan rasa percaya diri dan rasa mempunyai kemampuan untuk meningkatkan taraf hidup melalui usaha secara mandiri. Sebagai konsekuensinya GB memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembangkan anggotanya.
Ketiga, ketekunan dan kesabaran sebagai modal GB. Setiap melakukan kegiatannya dilokasi baru, GB melaksanakan program-programnya secara hati-hati dan tidak terburu-buru. Strateginya, untuk setiap pembukaan kantor cabang baru, manager bersama calon manager mendatangi daerah tersebut, melakukan pendekatan dengan pimpinan formal dan non formal serta mengenalkan tujuan GB. Untuk keperluan . ini, GB memerlukan waktu 4 minggu, selanjutnya diadakan pertemuan resmi dengan seluruh lapisan masyarakat di daerah tersebut untuk diberi penjelasan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan tujuan dan kegiatan GB. GB memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mempertimbangkan keberadaannya di wilayah tersebut dan biasanya masyarakat menerimanya tanpa ada unsur tekanan
Keempat, manajer GB mampu menciptakan kesan yang baik di lingkungannya. Manager GB yang berada di kantor cabang barn mula-mula bekerja sendiri tanpa ada yang membantu.
Grameen bank mempunyai multifungsi bagi masyarakat miskin desa apabila penerapannya dilakukan secara maksimal. Fungsi pertama adalah di sini Grameen Bank berfungsi untuk memberikan fasilitas kredit produktif bagi masyarakat desa dengan cara menggunakan sistem metode yang mengadopsi keuangan perbankan dan sistem arisan yang dianggap cocok dengan perilaku dan sifat masyarakat desa. Bukan hanya ini yang membuat Grameen Bank dilirik oleh masyarakat desa adalah, Grameen Bank memberikan pinjman tanpa aditetapkan agunan.
Fungsi kedua adalah dengan adanya Grameen Bank, selaindiberikannya kredit disini Grameen Bank memberikan pelatihan dan pengetahuan kepada masyarakt desa. Dengan adanya pelatihan ini maka diharapkan masyarakat desa sudah mulai mengerti tentang dunia perbankan yang selama ini masyarakat desa menganggap bahwa dunia dunia perbankan khususnya bank merupakan lembaga perbankan yang terlalu berbelit – belit dan banyak aturan dalam memenuhi kebutuhan kredit masyarakat miskin desa.
Dengan adanya Grameen Bank ini, duharapkan nantinya perekonomian masyarakat desa menjadi berkembang pesat dan produktif serta masyarakat desa diharapkan supaya tidak awam lagi terhadap perkembangan lembaga perbankan yang ada di Indonesia.

LEVEL BANK CORPORATION (LBC)
LBC (Level Bank Corporation) merupakan gagasan dari peneliti dalam mengatasi kecukupan modal, terutama modal kerja/ usaha dalam mengatasi berbagai tingkat kemiskinan di Indonesia baik di daerah pedesaan ataupun kota.
Indonesia sebenarnya mempunyai koperasi sebagai wadah dalam mengatasi tingkat kecukupan modal. Tetapi apabila dikaji lebih jauh ternyata kesejahteraan yang diberikan oleh keperasi hanya memprioritaskan kepada para anggota koperasi, sehingga bagi masyarakat yang bukan anggota koperasi masih mempunyai beberapa kendala. Di samping itu koperasi lebih familiar pada golongan masyarakat pedesaan atau golongan tertentu. Sebagian besar masyarakat lebih cenderung memilih bank sebagai salah satu pemberi kecukupan modal.
Akan tetapi dalam perbankan, kita sering mendengar adanya beberapa permasalahan seperti kredit macet dan asimetri informasi sehingga tidak semua individu dapat meminjam modal di lembaga perbankan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang kurang mengerti tentang tata cara meminjam di lembaga perbankan yang cukup rumit bagi sebagian orang.
LBC (Level Bank Corporation) muncul sebagai jawaban atas permasalahan di atas, dimana di sini LBC merupakan transformasi dari Grameen Bank, APEX BPR serta koperasi yang merupakan badan usaha asli milik Indonesia. LBC tidak hanya mengatasi kekurangan modal yang ada di Indonesia baik itu di pedesaan ataupun perkotaan. Akan tetapi di sini LBC juga memberikan pendidikan tentang dunia perbankan terutama bagi individu pedesaan yang masih sangat awam akan dunia perbankan.
LBC membawa gaya modern perbankan dengan tidak meninggalkan ruh yang terdapat pada koperasi. Kerjasama, gotong royong, dan tanggung renteng yang merupakan ciri utama bangsa Indonesia melekat kuat dalam LBC. Kecukupan jumlah modal pinjaman yang sering berbeda di kalangan perkotaan dan desa bisa diatasi dengan adopsi dari Grameen Bank dan APEX BPR.
Sementara persaingan yang dapat membunuh salah satu dari lembaga perbankan atau badan usaha yang bersaing dapat dihindari dengan metode pembagian saluran kredit. Dimana pada masyarakat pedesaan lebih disarankan pada model Grameen Bank karena lebih dikarenakan masyarakat desa sebagian besar masih kurang pengetahuan tentang dunia perbankan, memiliki rasa gotong royong tinggi bersifat kekeluargaan dan jumlah pinjaman yang nominalnya relitif kecil dibandingkan masyarakat perkotaan.
Sementara bagi warga kota lebih di dasarkan kepada APEX BPR dikarena masyarakat kota sebagian besar bersifat individual, memiliki kemampuan perbankan jauh lebih baik daripada masyarakat desa dan pada umumnya mengajukan jumlah pinjaman jauh lebih besar daripada masyarakat desa.
Dengan adanya LBC pada dunia perbankan di Indonesia diharapkan membawa angin segar bagi pengembangan dunia perbankan yang ada di Indonesia dan diharapakan dapat menjadi obat bagi permasalahan kecukupan mdal di daerah desa dan kota dalam mengatasi kemiskinan yang ada di Indonesia.
PENUTUP
Perbankan Indonesia merupakan suatu lembaga penting dan vital dalam memberantas kemiskinan. Peran lembaga perbakan lebih difokuskan bagaimana cara memberantas kemiskinan dengan memberikan kredit kepada lapangan usaha kecil yang terdapat di Indonesia. Usaha kecil yang terdapat di Indonesia identik dengan masyarakat miskin yang kekurangan modal sehingga usaha kecilnya sendiri kurang dapat berjalan dan tumbuh dengan baik. Hal ini merupakan suatu permasalahan tersendiri bagi usaha kecil tersebut karena pihak perbankan biasanya hanya akan memberikan kredit terhadap individu yang mempunyai record yang bagus.
Tidak hanya berhenti sampai disini saja, tetapi permasalahan selanjutnya adalah apabila kredit ini hanya disalurkan begitu saja secara random, ditakutkan kredit yang diberikan tidak tepat guna. Di sini ada perbedaan tentang kondisi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan, dimana mempunyai kondisi yang berbeda jika dilihat dari kebutuhan modal, pendidikan, kelembagaan dan jenis usaha kecil yang ada. Di daerah pedesaan disarankan mampu mengadopsi sistem model Grameen Bank karena dengan adanya sistem ini masyarakat desa tidak hanya diberkan kredit ringan tanpa agunan yang bersifat tanggung renteng tetapi juga diberikan pengetahuan mendasar tentang sistem perbankan yang selama ini mayoritas penduduk desa kurang mengerti apa itu perbankan.
Sedangkan penanggulangan kemiskinan dan bantuan modal kredit produktif bagi masyarakat miskin kota di sini penulis menggunakan model APEX BPR, dimana model tersebut merupakan gabungan dari perbankan umum dan BPR yang ada di daerah tersebut. Dengan adanya APEX BPR diharapkan modal yang disalurkan dalam pemberian kredit dapat dengan tepat dan bertambah volume penyalurannya kepada masyrakat miskin kota yang berbeda dengan masyarakat miskin desa.
Dengan adanya penanggulangan kekurangan modal di wilayah desa ataupun kota bagi perkreditan yang diajukan oleh usaha kecil bagi masyarakat miskin, dimana di sini APEX BPR ditujukan sebagai lembaga penyedia kredit bagi masyarat miskin kota, sedangkan Grameen Bank sebagai lembaga penyedia kredit bagi masyarakat miskin desa diperlukannya sebuah aturan untuk mengatur kegiatan perkreditan tersebut.
Perlunya dikaji lebih lanjut mengenai penggolongan kemiskinan di Indonesia, mengingat setiap periodenya pendapatan, jumlah warga miskin selalu berubah – ubah sesuai dengan keadaan ekonomi suatu negara. Tujuan dari pengkajian ini tidak lain adalah supaya sasaran yang diharapkan dalam pengajuan kredit bisa tepat sasaran.
Perlu ada lembaga khusus yang menangani permasalahan ini dengan serius, menginagt model yang akan diterapkan nantinya merupakan model baru yang belum pernah diterapkan sebelumnya di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Adiatman, P.S; 1999. Peranan Kredit Sebagai Piranti Pengentasan Kemiskinan (Replikasi Grameen Bank di Indonesia), Skripsi, Jakarta: Sekolah Tinggi Ilrnu Ekonomi Perbanas, Jurusan Manajemen Keuangan.

Chotim, Erna Ermawati dan Tharnrin,Juni (ed.). 1997. Diskusi Ahli: Pemberdayaan & Replikasi Aspek Finansial Usaha Kecil Di Indonesia. Yayasan AKATIGA, PEP-LIPI, Yayasan Mitra Usaha dan The Asian Foundation. Bandung.

Dede Haeruddin (Pyn), 1999. Aneka Skim Kredit Untuk Modal Usaha. Yayasaan Bhakti Kencana. Jakarta.

Firmansyah (2000). Implikasi Model Grameen Bank di Kabupaten Magetan, dalam bukunya "Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui Grameen Bank" (Pny. Mahmud Thoha), PEP - LIPL Jakarta_

Gunardi, Harry Seldadyo Dkk, 1994. Kredit Untuk Rakyat. Akatiga. Bandung.
Rasahan, C.A. dan Syukur, M (1997), Karya Usaha Mandiri, Arah Baru Menjangkau Golongan Termlskin di Pedesaan, dalam Danusaputro, M.,et.al., (1997), Monetisasi Pedesaan: Bunga Rampai Keuangan Pedesaan, Edisi Kedua, Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Sudaryanto, Tahlim, 1999. Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dalam Era. Pasar Bebas. Seminar Nasional Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan Dalam. Era Otonomi Daerah. Bogor, 16 - 17 November 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Suharto, Pandu, 1989. Grameen Bank, " Sebuah Model Bank Untuk Orang miskin di Bangladesh". Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Jakarta.

 ---------- 1996. Petunjuk Pelaksanaan Sistem Perkreditan Grameen Bank di Indonesia. Jakarta: Yayasan Mitra Usaha, tidak dipublikasikan.
 ---------- , 1996. 100 Tahun BPR Di Indonesia 1895 - 1995. InfoBank. Cetakan Pertama. Jakarta.
----------- , 2012. APEX Bank. Bank Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta.

 ---------- , dan Hafid, A. 1997. Pelaksanaan Pola Grameen Bank di Bangladesh dan Malaysia, dalam Danusaputro, et al., "Monetisasi Pedesaan: Bunga Rampai Keuangan Pedesaan, Edisi Kedua, Institut Bankir Indonesia, Jakarta.

Supramono, Gatot, 1996.. Perbankan Dan Masalah Kredit "Suatu Tinjauan Yuridis". Cetakan Kedua. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Thoha, Mahmud (Peny), 2000. Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui Model Grameen Bank. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan - LIPI, Jakarta

Zain, Djumilah, 1993. Kaji Tindak Lembaga Keuangan Pedesaan Untuk Membantu Masyarakat Miskin di Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar, Usulan Penelitian, Malang. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya.

 ---------- 1996. Strategi Pengentasan Kemiskinan Melalui Bantuan Modal Bagi Rumah Tangga Miskin di Pedesaan, Laporan Penelitian. Jawa Timur. Malang. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya.

              , 1998. Strategi Pengentasan Kemiskinan Melalui Bantuan Modal Bagi Rumah Tangga Miskin di Pedesaan, Rangkuman Hasil Penelitian. Jawa Timur. Malang. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya.

              1998. Pemberdayan Keluarga Miskin Melalui Pemberian Kredit Model Grameen Bank. Makalah Seminar di LIPI, Jakarta 13 Oktober 1998.