PEMBERANTAS
KEMISKINAN & KECUKUPAN MODAL DI DUA DIMENSI
BERBEDA
MELALUI MODEL APEX BPR
DAN GRAMEEN BANK
Oleh:
Muhammad Khoirul
Fuddin
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang
E-mail/No. Hp: foeddin@yahoo.com/ 085649947747
Abstract
This
research is based on two models of the object model of the Grameen Bank that
successfully implemented in rural communities of Bangladesh and APEX BPR models
have been suggested by the Central Bank of Indonesia. It is expected that these
two models can be reduced poverty in Indonesia. Conclusions can be drawn from
this study is that the level of poverty later in Indonesia in handling through
lending activities were not able to use only one in the same way. this is
because, since this type of poverty in rural and urban areas have differences.
With the APEX BPR is felt more appropriate to extend credit in the urban poor
Grameen Bank model is more suitable to be applied to extend credit in rural
communities.
Keywords: poverty, apex bpr, and grameen
bank
Abstrak
Penelitian
ini didasarkan pada dua model dari model obyek dari Bank Grameen yang berhasil
diterapkan di masyarakat pedesaan di Bangladesh dan BPR APEX model telah
diusulkan oleh Bank Sentral Indonesia. Diharapkan kedua model dapat mengurangi
kemiskinan di Indonesia. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini
adalah bahwa tingkat kemiskinan kemudian di Indonesia dalam penanganan melalui
kegiatan pinjaman tidak dapat menggunakan hanya satu dengan cara yang sama. ini
karena, karena ini jenis kemiskinan di daerah pedesaan dan perkotaan memiliki
perbedaan. Dengan BPR APEX dirasakan lebih tepat untuk memperpanjang kredit
dalam model miskin perkotaan Grameen Bank lebih cocok diterapkan untuk
memperpanjang kredit di masyarakat pedesaan.
Kata
Kunci: kemiskinan,
apex bpr, dan grameen bank
PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan permasalahan yang
serius bagi setiap negara. Banyak sekali
faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan suatu negara. Salah satu factor penyebabnya adalah kurangnya jumlah modal yang
dimilik ioleh masing – masing orang untuk mendirikan suatu usaha dalam menopang
perekonomian per individu. Sebenarnya kekurangan modal bias diantisipasi dengan
adanya pemberian kredit yang diberikan oleh lembaga keuangan bank ataupun non
bank. Dengan adanya pemberian kreditini diharapakan mulai tumbuh UMKM (Usaha
Menengah Kecil Mikro) dikalangan masyarakat menengah kebawah sehingga
mampu mengurangi jumlah angka kemiskinan dan pada akhirnya meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi suatu negara.
Kekurangan modal mungkin memang bisa dihindari dengan pemberian kredit kepada masyarakat kelas
menengah kebawah. Apabila berbicara kredit maka
hal yang paling banyak menjadi persoalan adalah resiko gagal bayar, pemberian
kredit yang tepat dan proses pemberian termasuk syarat – syarat yang yang harus
dipenuhi oleh para peminjam. Jadi dalam prakteknya kredit mempunyai berbagai
permasalahan,
antara lain yaitu: Pertama, dengan adanya
pemberian kredit kepada Usaha Kecil Mikro pihak perbankan kurang bias memaksimalkan
keuntungan karena biasanya Usaha Kecil Mikro hanya meminjam dalam jumlah kecil.
Kedua,
terdapat
resiko gagal bayar yang cukup tinggi apabila pihak lembaga keuangan salah menyalurkan
kredit kepada Usaha Kecil Mikro karena biasanya Usha Kecil Mikro kurang mempunyai
barang likuid yang bias dijaminkan untuk memperoleh pinjaman. Ketiga, biaya administrasi yang dikenakan
oleh pihak keuangan cenderung sama antara Usaha Kecil Mikro dengan perusahaan –
perusahaan besar, sehingga pada akhirnya pihak lembaga keuangan kurang memprioritaskan
Usaha Kecil Mikro. Keempat, sistem atau
tata cara kredit yang ada di bank umum biasanya dianggap terlalu menyulitkan pihak
Usaha Kecil Mikro yang biasanya mayoritas pemilikdari Usaha Kecil Mikro adalah lulusan
SLTA.
Dengan adanya beberapa kendala ini,
biasanya para masyarakat menengah kecil yang memiliki usaha kecil lebih tertarik
kepada BPR atau pun lembaga keuangan lain bahkan kepada para rentenir karena dengan
adanya lembaga – lembaga tersebut pihak Usaha Kecil Mikro berpendapat bahwa akan
lebih cepat mendapatkan kredit tanpa adanya syarat atau sistem yang dianggap memberatkan
walaupun dengan konsekuensi harus membayar dengan tingkat suku bunga yang cukup
tinggi.
Ternyata persoalan ini tidak hanya berhenti
dari lembaga keuangan mana yang dituju dalam menerima pinjaman tetapi juga di
sini terdapat suatufakta baru yang dapat menentukan tingkat keberhasilan pinjaman
masyarakat miskin dalam Usaha Kecil Mikro. Persoalan baru yang muncul di sini adalah
terdapat penggolongan masyarakat miskin menurut wilayah desa dan kota yang ada
di Indonesia.
Bagi masyarakat miskin di kota solusi dari
kekurangan modal dalam Usaha Kecil Mikro mungkin bias diselesaikan dengan BPR
yang ada di wilayah kota, akan tetapi bagi masyarakat miskin di wilayah desa
BPR mungkin masih kurang begitu optimal dalam penyelesaian masalah kekurangan
modal bagi Usaha Kecil Mikro.
Dilihat dari segi pendapatan ataupun tingkat
pendidikan masyarakat miskin di daerah kota dan desa mempunyai perbedaan. Di
sisi lain BPR dalam memenuhi kebutuhan kecukupan modal Usaha Kecil Mikro di kalangan
masyarakat miskin kota dirasa bisa optimal dikarenakan syarat dan prosedur yang
diajukan dirasa dapat dilpenuhi oleh masyarakat miskin kota, sebaliknya bagi masyarakat
miskin desa syarat dan prosedur yang diajukanoleh BPR mungkin akan sedikit menyulitkan.
Solusi yang dirasa dapat mengatasi permasalahan
tersebut adalah kekurangan modal yang terjadi pada Usaha Kecil Mikro bagi masyarakat
miskin desaa dalah dengan berlakunya atau berdirinya Grameend Bank dimana syarat
dan prosedur penjaman kredit produktif memang benar – benar dikhususkan kepada masyarakat
desa.
Dari paparan latar belakang di atas,
maka penulis berusaha menganggkat topik “Pemberantas
Kemiskinan & Kecukupan Modal di Dua Dimensi Berbeda Melalui Model APEX BPR Dan Grameen Bank”.Dengan adanya dua
sistem yang berbeda yang diterapkan kepada masyarakat miskin desa dan kota ini diharapkan
proses pinjaman kecukupan modal yang ada di Usaha Kecil Mikro di kota dan desa dapat
terpenuhi sehingga nantinya dapat menganggkat pertumbuhan ekonomi secara nasional
dan semakin mengecilkan angka kemiskinan yang ada di Indonesia.
KRITERIA DAN
BATASAN PENDUDUK MISKIN INDONESIA
Sebelum berlanjutan tentang model
APEXBPR dan Grameen Bank sebagai solusi pemberantas kemiskinan & kecukupan
modal di dua dimensi berbeda yaitu antara masyarakat miskin kota dan desa,
terlebih dahulu kita harus mendefinisikan kriteria dan batasan miskin penduduk
Indonesia.
BPS telah menetapkan 14 (empat belas)
kriteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen
Komunikasi dan Informatika (2005), rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga
miskin yang apabila memenuhi salah satu kriteria dikategorikan sebagai
“miskin”. ciri tersebut yaitu: 1) Hidup dalam rumah dengan ukuran lebih kecil
dari 8 M2 per orang; 2) Hidup dalam rumah dengan lantai tanah atau lantai kayu
berkualitas rendah/ bamboo; 3) Hidup dalam rumah dengan dinding terbuat dari
kayu berkualitas rendah/ bambu/ rumbia/ tembok tanpa diplester; 4) Hidup dalam
rumah yang tidak dilengkapi dengan WC/ bersama - sama dengan rumah tangga lain;
5) Hidup dalam rumah tanpa listrik; 6) Tidak mendapatkan fasilitas air bersih/ sumur/
mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan; 7) Menggunakan kayu bakar, arang
atau minyak tanah untuk memasak; 8) Mengkonsumsi daging atau susu seminggu
sekali; 9) Belanja satu set pakaian baru setahun sekali; 10) Makan hanya sekali
atau dua kali sehari; 11) Tidak mampu membayar biaya kesehatan pada Puskesmas
terdekat; 12) Pendapatan keluarga kurang dari Rp. 600.000,- per bulan; 13) Pendidikan
Kepala Keluarga hanya setingkat Sekolah Dasar; 13) Tidak memilik
tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,-(kendaraan,
emas,ternak dll); 14) Mempekerjakan anak di bawah umur dan tidak mampu
membiayai anak untuk sekolah.
Ada satu kriteria tambahan lagi, hanya
tidak terdapat dalam leaflet bahan sosialisasi Departemen Komunikasi dan
Informatika tentang kriteria rumah tangga miskin, yaitu rumah tangga yang tidak
pernah menerima kredit usaha UMKM/ KUMKM setahun lalu.
Berdasarkan
kriteria yang ditetapkan di atas, di sini penulis berusaha membatasi ruang
lingkup penelitiannya dari sudut pandang moneter yaitu kriteria penduduk miskin
dilihat dari rumah tangga yang tidak pernah atau belum mendapatkan kredit usaha
UMKM/ KUMKM.
Dengan
adanya fokus terhadap kredit yang diberikan kepada keluarga miskin diharapkan
disini kemiskinan bisa dihindari dan diperbaiki secara efisien dan efektif.
Karena dengan memberikan bantuan dana kepada kelompok miskin itu dirasa lebih
produktif dari pada bantuan yang diterapkan oleh pemerintah saat ini yaitu BLT
(Bantuan Langsung Tunai) yang dirasa bukan solusi untuk mencegah kemiskinan,
tetapi sebaliknya malah mendorong masyarakat miskin untuk semakin bertindak
konsumtif dengan bantuan yang diterimanya. Karena BLT tidak memberikan dampak
kepada masyarakat untuk semakin produktif, BLT hanyalah digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari – hari. Berbeda dengan diberikannnya kredit di sini
masyarakat di dorong untuk melakukan kegiatan produktif dan adanya tindakan
monitoring dari kredit yang diberikan sehingga dirasakan bantuan kredit lebih
pantas dan produktif bagi masyarakat miskin.
Tabel 1. Jumlah Keluarga
Mendapatkan Kredit
Mikro/ Bantuan Modal
Hasil
Pendataan
Keluarga
2011
No
|
Provinsi
|
Keluarga mendapat
Bantuan modal
|
Jumlah
Kepala
Keluarga
|
|||
Ya
|
%
|
Tidak
|
%
|
|||
31
|
DKI
Jakarta
|
61,547
|
3.52
|
1,686,839
|
96.48
|
1,748,386
|
32
|
JawaBarat
|
1,001,968
|
8.54
|
10,734,361
|
91.46
|
11,736,329
|
33
|
JawaTengah
|
1,222,544
|
12.45
|
8,593,993
|
87.55
|
9,816,537
|
34
|
DIYogyakarta
|
92,018
|
9.90
|
837,218
|
90.10
|
929,236
|
35
|
JawaTimur
|
962,941
|
8.60
|
10,238,757
|
91.40
|
11,201,698
|
51
|
Bali
|
55,281
|
5.89
|
883,525
|
94.11
|
938,806
|
36
|
Banten
|
313,792
|
12.49
|
2,198,161
|
87.51
|
2,511,953
|
JAWABALI
|
3,710,091
|
9.54
|
35,172,854
|
90.46
|
38,882,945
|
|
11
|
Aceh
|
112,410
|
10.09
|
1,001,280
|
89.91
|
1,113,690
|
12
|
SumateraUtara
|
43,852
|
1.40
|
3,094,805
|
98.60
|
3,138,657
|
13
|
SumateraBarat
|
165,386
|
13.77
|
1,035,780
|
86.23
|
1,201,166
|
16
|
SumateraSelatan
|
61,188
|
3.11
|
1,905,336
|
96.89
|
1,966,524
|
18
|
Lampung
|
49,413
|
2.41
|
1,998,331
|
97.59
|
2,047,744
|
52
|
NusaTenggaraBarat
|
136,763
|
9.71
|
1,271,813
|
90.29
|
1,408,576
|
61
|
KalimantanBarat
|
50,446
|
4.38
|
1,101,541
|
95.62
|
1,151,987
|
63
|
KalimantanSelatan
|
42,316
|
4.10
|
989,755
|
95.90
|
1,032,071
|
71
|
SulawesiUtara
|
96,754
|
15.39
|
531,725
|
84.61
|
628,479
|
73
|
SulawesiSelatan
|
189,167
|
9.46
|
1,810,005
|
90.54
|
1,999,172
|
19
|
BangkaBelitung
|
9,924
|
2.85
|
337,862
|
97.15
|
347,786
|
75
|
Gorontalo
|
79,992
|
27.92
|
206,540
|
72.08
|
286,532
|
76
|
SulawesiBarat
|
25,986
|
9.30
|
253,330
|
90.70
|
279,306
|
LUARJAWABALII
|
1,063,597
|
6.41
|
15,538,103
|
93.59
|
16,601,690
|
|
14
|
Riau
|
48,856
|
4.12
|
1,137,719
|
95.88
|
1,186,575
|
15
|
Jambi
|
54,918
|
6.71
|
763,315
|
93.29
|
818,233
|
17
|
Bengkulu
|
28,727
|
6.19
|
435,475
|
93.81
|
464,202
|
53
|
NusaTenggaraTimur
|
203,439
|
19.03
|
865,739
|
80.97
|
1,069,178
|
62
|
KalimantanTengah
|
14,823
|
2.76
|
523,069
|
97.24
|
537,892
|
64
|
KalimantanTimur
|
52,674
|
6.76
|
726,497
|
93.24
|
779,171
|
72
|
SulawesiTengah
|
89,415
|
13.23
|
586,275
|
86.77
|
675,690
|
74
|
SulawesiTenggara
|
50,126
|
9.34
|
486,394
|
90.66
|
536,520
|
81
|
Maluku
|
6,865
|
2.07
|
324,019
|
97.93
|
330,884
|
91
|
Papua
|
5,099
|
0.82
|
617,173
|
99.18
|
622,272
|
82
|
MalukuUtara
|
9,004
|
3.45
|
252,310
|
96.55
|
261,314
|
92
|
PapuaBarat
|
4,188
|
2.07
|
198,135
|
97.93
|
202,323
|
21
|
KepulauanRiau
|
29,717
|
6.73
|
412,043
|
93.27
|
441,760
|
LUARJAWABALIII
|
597,851
|
7.54
|
7,328,163
|
92.46
|
7,926,014
|
|
NASIONAL
|
5,371,539
|
8.47
|
58,039,120
|
91.53
|
63,410,649
|
UMKM DI INDONESIA
Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peranan penting dalam perekonomian di
Indonesia. UMKM memiliki proporsi sebesar 99,99% dari total keseluruhan pelaku
usaha di Indonesia atau sebanyak 52,76 juta unit (BPS,2009). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009
tersebut juga menunjukkan bahwa UMKM terbukti berkontribusi sebesar 56,92% dari
total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atau setara dengan Rp1.213,25
Triliun. Selain itu, UMKM memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja (menyerap
97,3% dari total angkatan kerja yang bekerja) dan memiliki jumlah yang besar
dari total unit usaha di Indonesia serta kontribusi yang cukup besar terhadap
investasi di Indonesia yaitu sebesar Rp222,74 Triliun atau 51,80% dari total
investasi pada tahun 2008.
Pengembangan
UMKM semakin gencar dilakukan pemerintah dan pihak lainnya untuk meningkatkan
kinerja sektor ini. Upaya mencapai pengembangan UMKM ini salah satunya
dilakukan melalui pengembangan UMKM yang dalam pelaksanaan mengacu pada ASEAN
Policy Blue Print for SME Development
(APBSD) 2004-2014. Dalam APBSD, pengembangan UMKM dilaksanakan melalui
lima program yaitu program pengembangan kewirausahaan, peningkatan kemampuan
pemasaran, akses kepada keuangan, akses kepada teknologi dan kebijakan yang
kondusif.
Akan tetapi,
pengembangan UMKM ini masih menghadapi kendala terutama dalam mengakses biaya
dari sektor perbankan. Kendala UMKM terhadap kredit perbankan ini bisa ditinjau
dari sisi permintaan dan panawaran. Dari sisi permintaan, UMKM memiliki
karakteristik yang cukup unik dimana pada umumnya UMKM tidak memiliki informasi
keuangan yang transparan dan terorganisir yang menyebabkan pemberi kredit
memiliki kesulitan dalam memperoleh informasi mengenai kondisi keuangan dan
usaha dari UMKM. Hal tersebut dapat menyebabkan bank kesulitan dalam
meminimalisir risiko default atas kredit
yang dapat disalurkan kepada UMKM. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian di
beberapa negara, seperti Brazil, Peru, dan sejumlah negara di Afrika Selatan
(Cravo, 2010; Falkena dan Herrero, 2008).
Dari sisi
penawaran kredit, penelitian yang dilakukan oleh Ali (2008) menyebutkan bahwa
keengganan bank dalam memberikan kredit terhadap UMKM terutama disebabkan oleh
keterbatasan aset yang dapat dijadikan sebagai jaminan (collateral),
ketidakpastian bisnis di masa depan, lemahnya manajemen keuangan, dan
kurangnya track record.
Adapun pengelolaan UMKM di Indonesia dilakukan di bawah Kemenkop dan UMKM. Dalam
rangka mewujudkan pengembangan UMKM di Indonesia, Kemenkop dan UMKM memiliki
beberapa strategi. Di dalam rencana strategis Kemenkop dan UMKM tahun 2010 –
2014, dijelaskan bahwa arah kebijakan yang dikeluarkan memiliki beberapa fokus
yang berkaitan dengan UMKM, yaitu peningkatan iklim usaha yang kondusif
(pengembangan peraturan dan perundang-undangan yang memudahkan, pembentukan
forum dan peningkatan koordinasi antar lembaga yang berkaitan dengan UMKM,
peningkatan kemampuan dan kualitas aparat, pengembangan model teknologi untuk
mendukung UMKM, dan lain-lain), peningkatan akses terhadap sumber daya
produktif (penguatan permodalan UMKM, pengupayaan penurunan suku bunga pinjaman
bagi UMKM, restrukturisasi usaha, peningkatan produktivitas dan mutu, pemberdayaan
lembaga pengembangan bisnis, fasilitas investasi UMKM, dan pengembangan sistem
bisnis), pengembangan produk dan pemasaran (pemanfaatan ilmu dan teknologi,
penguatan jaringan usaha dalam dan luar negeri, dan fasilitasi promosi), dan
peningkatan daya saing SDM (pengembangan kewirausahaan, manajerial, keahlian
teknis, dan kemampuan dasar).
Selain fokus
strategi tersebut, kebijakan Kemenkop dan UMKM juga dimaksudkan untuk mendukung
manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya, meningkatkan sarana dan prasarana
aparatur kementerian, dan mengembangkan program dan kegiatan yang berkaitan
dengan pengembangan UMKM. Di samping program-program yang dijalankan oleh
Kemenkop dan UMKM, beberapa lembaga lain di Indonesia juga melakukan usaha
untuk membantu perkembangan UMKM. Sebagai contoh, Bank Indonesia memiliki
kebijakan untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan yang salahsatunya
bertujuan untuk membantu akses pendanaan bagi UMKM. Kebijakan ini tertuang baik
dari sisi penawaran maupun permintaan. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
6/25/PBI/2004 dan SE Nomor 6/44/DPNP mengenai rencana bisnis bank umum dalam
menyalurkan kredit pada UMKM bertujuan untuk mengetahui sejauh mana komitmen
bank dalam pemberian kredit bagi UMKM. Di sisi permintaan, program Bank Indonesia
difokuskan pada penguatan lembaga pendamping UMKM dalam bentuk kegiatan
pelatihan dan penelitian. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) No. 135/PMK/.05/2008 mengeluarkan program penjaminan
Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tujuannya mengembangkan UMKM dan koperasi secara
berkesinambungan. Peraturan ini kemudian mengalami revisi dalam hal jangka
waktu kredit, retstrukturisasi, dan plafon pinjaman dengan dikeluarkannya PMK
No.10/PMK.05/2009. Contoh lainnya adalah keberadaan perusahaan penjaminan
kredit seperti Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Jaminan Kredit
Indonesia (Jamkrindo) yang bertujuan untuk meningkatkan akses UMKM terhadap
kredit dengan memberikan jasa penjaminan. Selain itu, saat ini sedang dalam pembahasan
adalah pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD).
Usaha Kecil
dan Menengah, termasuk mikro, di Indonesia saat ini mempunyai kontribusi yang
besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan perekonomian Indonesia.
Keberdayaannya menghadapi krisis dan kontribusinya terhadap perekonomian negara
menjadikan UMKM sebagai subyek banyak pihak.
UMKM di
Indonesia pada tataran kebijakan dan pelaksanaan menghadapi banyak
permasalahan. Permasalahan pertama timbul karena pendefinisian yang berbeda antar lembaga
pemerintah. Perbedaan inilah yang “mungkin” menyebabkan kebijaksanaan
pemerintah terhadap UMKM terkesan bersifat ad hoc. Dari beragam definisi, yang
paling terukur adalah definisi UMKM versi Bank Indonesia, yakni: 1) Menunjuk maksimum aset dimiliki; 2) Menunjuk maksimum hasil penjualan; 3) Dimiliki oleh WNI; 4) Tidak berafiliasi dengan badan usaha menengah atau besar; 5) Berbadan hukum.
Permasalahan
kedua, definisi yang berbeda mengakibatkan UMKM kesulitan mendapatkan informasi
dan akses pada banyak hal secara operasional. Misalnya kesulitan dalam
pemasaran, ketidakadaan kepercayaan lembaga karena ketiadaan bentuk badan
hukum, tidak memiliki laporan keuangan, tidak memiliki agunan, ketidakmampuan membuat
proposal kredit yang komprehensif.
Kategorisasi
persoalan pembiayaan UMKM berdasarkan hasil observasi tim peneliti terhadap
UMKM di Indonesia
menunjukkan bahwa untuk dapat menjadi bankable, paling tidak terdapat enam aspek
lain selain aspek entrepeneurship yang harus dibenahi. Posisi UMKM pertama
kali, meski tidak selalu, berada pada zona potensial, kemudian naik pada posisi
feasible. Pergeseran ini terjadi ketika
UMKM mulai meningkatkan kualitas produksi, misalnya adanya quality control ,
dan mulai menggunakan sistem pemasaran. Pada tabel di bawah ini, tampak bahwa
untuk menjadi UMKM yang bankable enam
aspek harus dipunyai dengan penekanan pada aspek entrepreneurship, produk, produksi/operasi,
pemasaran dan legal. Adanya lembaga pemeringkat seharusnya bisa membantu
mempercepat assessment dan kekurangan aspek dari yang sebelumnya implisit,
menjadi eksplisit dengan adanya penilaian lembaga pemeringkat misalnya terhadap
ketidakadaan aspek keuangan dan permodalan.
Permasalahan
ketiga yang dihadapi UMKM adalah persoalan
struktural pendirian dan pengoperasian badan usaha, hal ini berbeda dengan
persoalan usaha besar yang lebih merupakan persoalan skala usaha. Jika kita
lihat kembali struktur unit usaha, terlihat bahwa UMKM adalah sektor yang labor intensive bukan
capital intensive , sehingga tidak membutuhkan modal dalam skala yang
besar. Kebutuhan pembiayaan lebih bersifat pada pembiayaan jangka pendek (modal
kerja) dengan siklus yang tetap dan berulang-ulang tergantung dari industrinya.
MODEL APEX BPR
Terminologi Apex yang dalam
bahasa Yunani berarti
“pengayom” secara harfiah memberikan amanat kepada
lembaga yang ditunjuk untuk bertindak sebagai Apex, menjadi pengayom bagi lembaga - lembaga yang menjadi anggotanya. Menurut
praktek umum (common practice) yang berlaku di negara-negara lain, fungsi lembaga Apex dititikberatkan pada peran dalam penyatuan/ pengumpulan dana (pooling of funds), pemberian bantuan keuangan (financial assistance) dan dukungan teknis (technical support).
Berdasarkan pembelajaran selama beberapa waktu,
diketahui pula bahwa bentuk paling ideal
lembaga Apex
adalah bank umum atau unit
bank umum, karena
(i) mampu
menjalankan fungsi - fungsi
Apex, terutama terkait dengan penyediaan fasilitas/ akses kepada sistem
pembayaran; (ii) memiliki kemampuan manajerial yang lebih unggul dalam pengelolaan dana, (iii) memiliki kemampuan permodalan yang relatif kuat, dan (iv) memiliki instrumen yang
lengkap dalam
rangka pengelolaan dana yang terkumpul.
Namun
demikian, hal
yang paling utama yang
mendasari kerjasama Apex ini adalah
komitmen bank umum untuk
mengayomi BPR
dan kemudian secara
bersama-sama mengarahkan tujuan
akhir pada peningkatan jumlah UMKM yang
terlayani dengan suku
bunga yang
relatif rendah/terjangkau.
Faktor
penting dalam
mendukung
percepatan pertumbuhan ekonomi adalah dengan mengoptimalkan kontribusi
sektor keuangan termasuk perbankan dalam membuka akses layanan jasa keuangan,
terutama dalam bentuk pembiayaan, seluas mungkin kepada
pelaku usaha terutama UMKM. Untuk itu, perlu upaya untuk mendorong pemanfaatan sektor keuangan dalam perekonomian
masyarakat. Hal
tersebut yang menjadi
esensi kebijakan inklusi keuangan (financial
inclusion) yang tercakup dalam sebuah “Strategi Nasional Inklusi Keuangan”.
Sektor UMKM sebagai unit bisnis yang
mendominasi dunia usaha di Indonesia (mencapai 99,91%), belum seluruhnya
memperoleh pembiayaan perbankan. Tercatat sebesar + 60% UMKM dari total 51,3
juta unit UMKM belum terhubung pada layanan perbankan. Sejalan dengan jumlah
tersebut, porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan hanya sebesar 21,5%
(ini didasarkan pada pengertian UMKM menurut UU No.20 Tahun 2008
yang tidak memasukkan kredit
untuk keperluan konsumsi
dalam definisi kredit UMKM). Porsi ini jauh lebih kecil nilainya
dibandingkan pangsa kredit MKM menurut plafon yang mencapai 53,2% dari total kredit perbankan.
Untuk itu, perlu sinergi yang
terarah antara bank umum
dan BPR dalam upaya peningkatan
kontribusi pembiayaan perbankan kepada usaha
MKM dalam kerjasama Apex BPR. Melalui format kerjasama ini, bank umum dan BPR diharapkan dapat
saling mendukung dengan mengoptimalkan keunggulan sumber daya yang dimiliki
masing - masing pihak, dengan fokus yang mengarah pada pemberdayaan sektor
UMKM.
Daya tarik dan potensi sektor UMKM yang
besar menarik minat bank umum untuk
mengarahkan strategi bisnisnya
pada pembiayaan retail khususnya UMKM. Kondisi ini mendorong persaingan yang
ketat dengan BPR yang
sejak awal keberadaannya mengemban amanat untuk
mengutamakan pembiayaan usaha mikro
dan kecil.
Melalui
kerjasama Apex
BPR, bank umum
dan
BPR diharapkan
dapat saling
bahu membahu dengan
mengoptimalkan kekuatan dalam
pembiayaan UMKM. Bank umum
yang memiliki sumber dana relatif lebih besar dan dukungan teknologi yang memadai diharapkan
dapat menjalin sinergi dengan BPR yang memiliki
keunggulan pengalaman dan sebaran
jaringan kantor untuk dapat melayani UMKM yang tersebar di berbagai
pelosok negeri.
Adapun manfaat kerjasama
Apex BPR yaitu bagi Bank Umum:
1) Menjadikan
jaringan kantor BPR sebagai kepanjangan tangan
Bank Umum untuk melayani wilayah dan
masyarakat yang belum terlayani, antara
lain melalui linkage program; 2) Menciptakan produk dan jasa bersama untuk menjangkau
dan melayani nasabah yang lebih luas; 3) Memanfaatkan
pooling funds (idlefunds) BPR
sebagai sumber dana kelolaan; dan 4) Memiliki peluang
untuk menghasilkan
fee based income dari pemanfaatan transaksi oleh
BPR melalui jaringan ATM bank umum.
Adapun manfaat bagi BPR yaitu: 1) Memiliki
lembaga pengayom yang dapat memberikan
dukungan financial (khususnya dalam kondisi
kekurangan likuiditas/ mismatch) maupun bantuan teknis kepada BPR; 2) Menjadikan Apex sebagai
lembaga yang menyediakan jasa sistem pembayaran
khususnya dalam rangka pemindahan dan antar nasabah
sesama anggota Apex; 3) Melakukan
kerjasama dalam pemanfaatan produk/ jasa berbasis teknologi
informasi (seperti ATM) dan pemasaran produk/jasa
lainnya; 4) Memperoleh layanan
- layanan lainnya dari Apex dalam rangka
pengembangan kapasitas dan kompetensi SDM BPR, seperti pendampingan dan pelatihan.
Sedangkan manfaat bagi masyarakat miskin kota yaitu: 1) Membantu bagi pemenuhan kredit produksi yang dibutuhkan bagi masyarakat
miskin perkotaan dalam pemberdayaan UMKM; 2) Penerimaan dana kredit dan pelayanan yang di dapat oleh masyarakat miskin
lebih meningkat karena BPR telah mendapatkan bantuan dana dan transformasi
teknologi dari Bank Umum;
3) Bertambahnya informasi yang dimiliki oleh masyarakat
terutama dalam masalah pembiayaan kredit UMKM
MODEL GRAMEEN BANK
Grameen Bank atau
Bank Desa adalah model perbankan yang berasal dari Bangladesh yang didirikan oleh Muhammad Yunus yang profesinya
sebagai pengajar ilmu ekonomi di Universitas Chittagong Bangladesh. Latar belakang berdirinya bank
tersebut dikarenakan
ketidak puasan atas sistem perbankan dan
perkreditan yang ada di negaranya maupun di dunia yang pada dasarnya perbankan tidak ingin berhubungan dengan :
a) orang miskin, b) orang buta huruf dan c) kaum wanita (Pandu
Suharto, 1991: 38, 1996: 4).
Meskipun perbankan
di Bangladesh memberikan
kredit kepada masyarakat, namun bank-bank
tersebut hanya melayani orang-orang kaya.
Ini nampak dari ketentuan dan peraturannya yang hanya dapat dipenuhi oleh golongan tersebut. Seperti menyangkut masalah
jaminan kredit, persyaratan ini merupakan prinsip yang fundamental dalam pemberiari kredit, Disamping itu
semua transaksi harus didukung dengan
dokumen' tertulis. Padahal sebagian- besar
penduduk (80 persen) negara
Bangladesh adalah buta huruf, maka jelaslah perbankan bukanlah dimaksudkan untuk melayani
mereka. Begitu pula - perbankan juga
tidak melayani kebutuhan para wanita terlebih lagi apabila - mereka miskin
dan buta huruf (Pandu Suharto, 1991A2,1996-4).
Alasan tidak maunya perbankan melayani kebutuhan kredit masyarakat kecil
atau orang-orang miskin adalah 1) orang-orang miskin
tidak mempunyai barang-barang atau kekayaan yang dapat dijadikan agunan pinjamannya; 2)mereka tidak, dapat
mengisi formulir-formulir yang rumit
karena sebagian terbesar dari mereka tidak
dapat membaca dan menulis; 3) perbankan tidak suka melayani kebutuhan kredit yang kecil-kecil yang banyak
jumlahnya sehingga memerlukan banyak
pekerjaan dan mengandung resiko yang tinggi; dan 4) perbankan takut bunga
pinjaman yang diterima tidak dapat menutup
biaya pelayanan pinjaman kecil yang: banyak jumlahnya (Thoha, M, 2000: 16).
Proyek Grameen
Bank mulai dilaksanakan di Bangladesh tahun 1976
tepatnya di desa Jobra. Tujuannya untuk memenuhi, kebutuhan kredit orang-orang miskin di desa tersebut. Setelah Grameen Bank berhasil diterapkan di desa Jobra, maka Muhammad Yunus mengajak bekerjasama para pimpinan bank untuk mengadakan uji coba Grameen Bank ke daerah lainnya di Bangladesh selama 3 tahun. Disini dia akan nembuktikan bahwa orang-orang yang sangat miskin
adalah "bank able_". Ajakan ini .diterima oleh para pimpinan. bank-bank dan mereka
menentukan daerah Tangail sebagai daerah operasi proyek Grameen Bank. Setelah 3 tahun
uji coba dilakukan dengan penuh ketekunan,
maka pada akhir tahun 1982 Muhammad Yunus dan timnya berhasil mendirikan pusat
Grameen Bank di 745 desa di daerah
Tangail dengan jumiah debitur mencapai 24.177 orang dan pinjaman yang
telah diberikan sebesar. Taka 95.578.000 atau, sekitar US$ 4 juta, dengan tingkat pengembaliannya lebih dari 99 persen. Disamping itu dana tabungan kelompok yang
dapat dihimpun sebesar Taka 8.143.000 atau sekitar US$ 325.000.
Dengan demikian orang-orang miskin
di Tangail telah membuktikan bahwa . mereka
adalah "bank able". Setelah uji cobs selama 3 tahun di
Tangail, proyek Grameen Bank menjadi
program kredit pedesaan untuk orangorang sangat miskin yang efektif dan
efisien. Keberhasilan tersebut menjadikan
perbankan di Bangladesh tidak mau mengabaikan program untuk orang-orang miskin yang telah berhasil melalui ujian yang
berat dan pemerintah Bangladesh sangat terkesan dengan apa yang telah dicapai
oleh program tersebut (Pandu Suharto,1991: 4445).
Setelah
keberhasilan di Tangail, maka proyek Grameen Bank selanjutnya
dikembangkan di empat distrik, yaitu Chittagong, Dhaka, Rangpur dan Patuakhali dengan bantuan dana. dari International Fund for
Agricultural Development (IFAD) sebesar.US$ 3,4 juta, yang disalurkan melalui Bangladesh Bank. Disamping
itu, Bangladesh Bank juga memberi kucuran dana dalam jumlah yang sama dengan dana yang diberikan IFAD.
Tepat tanggal 1
September 1983, proyek Grameen Bank diresmikan menjadi
bank melalui ordonasi Pemerintah dengan nama Grameen
Bank (Bank Desa). .
Disini pemerintah menyediakan 60 persen dari modal dasar yang disetor sedangkan 40
persen dari modal berasal dari
peminjam, yaitu para anggota. Pada scat proyek Grameen Bank diresmikan. menjadi Grameen Bank,: daerah .operasinya
telah mencapai 5 buah distrik di
Bangladesh, :yang meliputi 1.025 desa dengan
cabang sudah mencapai 77 unit.
Menurut Pandu
Suharto (1996:6-8), falsafah dasar dari program perkreditan Grameen Bank adalah
kredit yang diberikan kepada orang-orang miskin adalah penting. Hal ini
disebabkan kredit tersebut dapat membantu mereka dalam peningkatan
pendapatan, dan merekapun mempunyai kemampuan untuk mengembalikan
kredit tersebut.
Dengan begitu langkah yang dapat
dilakukan guna membantu masyarakat miskin
keluar dari kemiskinan adalah penyediaan sumber permodalan yang dapat dimanfaatkan oleh mereka dengan cara rasional dan komersial, tetapi dengan persyaratan
dan prosedur yang disesuaikan dengan
kondisi mereka. Ternyata pemberian pinjaman Grameen Bank tanpa agunan tersebut dapat dikembalikan dengan tingkat yang sangat tinggi yaitu sebesar 98 %.
Asumsi yang
menyatakan bahwa orang miskin ' tidak punya ketrampilan,
kurang motivasi, tidak mempunyai pandangan ke depan serta tidak mempunyai ketrampilan untuk
menyelesaikan masalah mereka sendiri
dikritik oleh pendiri Grameen Bank dan Fugelsang (dalam Djumilah Zein, 1996). Menurut Fugelsang orang miskin punyai
berbagai macam ketrampilan yaitu : a)
listening skill, b) memory skill, c)
survival skill, d) resources utilization skill, dan e) occupation skill.
Meskipun demikian tidak berarti bahwa pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan bare atau lainnya tidak penting. Tetapi akan lebih mudah bila pengembangan '
dilaksanakan bila didasarkan pada ketrampilan yang sudah mereka
miliki.
Adapun prinsip-prinsip Grameen Bank
meliputi empat belas butir (Pandu Suharto,
1996:7-8) yaitu: 1) Hanya orang yang sangat miskin dan memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan pihak Bank dapat menjadi nasabah dan memperoleb pinjaman. Kriteria orang miskin di
Bangladesh adalah bila memiliki tanah seluas kurang dan 0,5 acre
(sekitar 2036 m2)
dais kekayaan lain yang dimiliki nilainya kurang dari nilai 1 acre (sekitar
4072 m2) tanah yang berkualitas sedang; 2) Pinjaman diberikan
tanpa agunan atau penjamin; 3) Prosedur
pinjaman dibuat sederhana; 4) Pinjaman
diberikan untuk kegiatan produktif; 5) Pinjaman
yang diberikan adalah relatif kecil dengan angsuran mingguan selama satu tahun; 6) Peminjam
diorganisasikan dalam kelompok yang terdiri dari 5 orang; 7) Pinjaman diberikan secara berturutan, yaitu
mula-mula 2 orang anggota yang paling
membutuhkan diberi prioritas pertama untuk
menerima pinjaman, kemudian menyusul dua anggota lainnya menerima pinjamannya dan yang terakhir menerima pinjaman adalah anggota kelima. Penentuannya ditetapkan
sendiri oleh kelompok; 8) Pengawasan
dilakukan dalam penggunaan pinjaman; 9) Peminjam diberi kemungkinan meminjam
kembali setelah pinjamannya
tunas; 10) Setiap peminjam dipotong 5% untak Dana Tabungan Kelompok, dan setiap minggu anggota menabung I
Taka' (kira-kira Rp.50,-) yang
dimasukkan kedalam Dana Tabungan Kelompok;
11) Setiap anggota membayar sejumlah
uang sebesar 25% dari bunga yang
dibayar untuk disetor kedalam Dana Darurat. Pada dasarnya dana ini merupakan dana untuk
asuransi terhadap . kemacetan pinjaman, kematian, cacat tubuh dan kecelakaan; 12) Bunga pinjaman sebesar 16
persen yang ditarik menjelang akhir mass
pinjaman sebagai dua angsuran terakhir; 13) Sejumlah kelompok di desa yang sama terdiri dari 6 sampai 8 kelompok mengadakan rapat mingguan bersama.
Pertemuan atau rapat ini dikenal sebagai rapat pusat atau "center"; 14) Semua transaksi Grameen Bank dengan anggota
kelompok dilaksanakan pada waktu rapat mingguan dari pusat. Petugas Grameen Bank menghadiri rapat tersebut untuk.
menerima angsuran pinjaman dan menghimpun
Dana Tabungan Kelompok dan
Dana Darurat untuk disimpan di bank. Semua urusan
pinjaman dibahas pula dengan petugas bank dalam rapat tersebut.
Adapun menurut David S. Gibbons, dalam Djumilah Zain
(1996:45), faktor - faktor yang melatar belakangi keberhasilan GB adalah sebagai berikut: Pertama,
adanya hubungan yang erat, Dikembangkannya hubungan yang erat antara GB
dengan anggota yang dibina dan antara sesama anggota binaan itu sendiri.
Kedua, kontrol dan
solidaritas kelompok. Adanya pembentukan Kelompok yang beranggotakan 5 orang
per kelompok dan bergabung dengan kelompok-kelompok lain
pada rembug pusat, maka tercipta system kontrol diantara anggota kelompok yang berfungsi meminimalkan peluang terjadinya pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan bersama. Kesungguhan
dalam mendekati rumah tangga miskin Dalam
membentuk kelompok tidak
diperbolehkan mencampurkan antara rumah tangga miskin dengan
yang tidak miskin. Dengan demikian
dalam membentuk kelompok binaan GB diperoleh rumah tangga yang benar-benar
sangat miskin. Adapun strategi yang
sangat bermanfaat bagi GB dalam mencapai kelompok miskin adalah memulai kegiatan dengan menetapkan wanita sebagai
binaan. Di masyarakat miskin Bangladesh, sangat sulit menarik minat wanita supaya membentuk kelompok dan mengajukan
pinjaman kepada Grameen Bank (GB). Adapun
penyebabnya adalah tantangan dari tokoh masyarakat dan masyarakat
mengenai kemudaratan wanita bila
memperoleh pinjaman, sehingga
menghambat proses pembentukan kelompok. Dan ternyata hanya wanita yang kondisinya sangat miskin saja yang berani
membentuk kelompok untuk memperoleh pinjaman. Pembentukan kelompok memerlukan
waktu yang cukup longgar Proses pembentukan kelompok, merupakan kekuatan GB.
Namun diperlukan waktu yang cukup lama karena calon-calon anggota belum saling mengenal. Sehingga perlu sating
mengenal dan penilaian sate
dengan yang lain, baru kemudian mereka bersepakat
membentuk kelompok. Kemudian
.petugas. GB memberi pelatihan (latihan
wajib kumpul) dan memberi penilaian terhadap
mereka tentang lulus tidaknya. Setelah dinyatakan lulus orang miskin merasa mendapat pengakuan dan
kehormatan yang selama ini tidak
pernah mereka rasakan. Hal ini menimbulkan rasa percaya diri dan rasa mempunyai kemampuan untuk meningkatkan taraf hidup melalui usaha secara
mandiri. Sebagai konsekuensinya GB
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembangkan anggotanya.
Ketiga, ketekunan dan
kesabaran sebagai modal GB. Setiap melakukan kegiatannya dilokasi baru, GB
melaksanakan program-programnya secara hati-hati dan tidak terburu-buru. Strateginya, untuk setiap pembukaan kantor cabang baru, manager bersama calon manager mendatangi daerah tersebut, melakukan pendekatan dengan pimpinan formal dan non formal serta
mengenalkan tujuan GB. Untuk keperluan . ini,
GB memerlukan waktu 4 minggu,
selanjutnya diadakan pertemuan resmi
dengan seluruh lapisan masyarakat di daerah tersebut untuk diberi penjelasan
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan tujuan dan kegiatan GB. GB memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mempertimbangkan keberadaannya
di wilayah tersebut dan biasanya masyarakat menerimanya tanpa ada unsur tekanan
Keempat, manajer GB mampu menciptakan kesan yang baik di lingkungannya.
Manager GB yang berada di kantor cabang
barn mula-mula bekerja sendiri tanpa ada yang membantu.
Grameen bank mempunyai multifungsi bagi masyarakat miskin desa apabila
penerapannya dilakukan secara maksimal. Fungsi pertama adalah di sini Grameen
Bank berfungsi untuk memberikan fasilitas kredit produktif bagi masyarakat desa
dengan cara menggunakan sistem metode yang mengadopsi keuangan perbankan dan
sistem arisan yang dianggap cocok dengan perilaku dan sifat masyarakat desa.
Bukan hanya ini yang membuat Grameen Bank dilirik oleh masyarakat desa adalah,
Grameen Bank memberikan pinjman tanpa aditetapkan agunan.
Fungsi kedua adalah dengan adanya Grameen Bank, selaindiberikannya kredit
disini Grameen Bank memberikan pelatihan dan pengetahuan kepada masyarakt desa.
Dengan adanya pelatihan ini maka diharapkan masyarakat desa sudah mulai
mengerti tentang dunia perbankan yang selama ini masyarakat desa menganggap
bahwa dunia dunia perbankan khususnya bank merupakan lembaga perbankan yang
terlalu berbelit – belit dan banyak aturan dalam memenuhi kebutuhan kredit
masyarakat miskin desa.
Dengan adanya Grameen Bank ini, duharapkan nantinya perekonomian masyarakat
desa menjadi berkembang pesat dan produktif serta masyarakat desa diharapkan
supaya tidak awam lagi terhadap perkembangan lembaga perbankan yang ada di
Indonesia.
LEVEL BANK CORPORATION (LBC)
LBC (Level Bank Corporation) merupakan
gagasan dari peneliti dalam mengatasi kecukupan modal, terutama modal kerja/
usaha dalam mengatasi berbagai tingkat kemiskinan di Indonesia baik di daerah
pedesaan ataupun kota.
Indonesia
sebenarnya mempunyai koperasi sebagai wadah dalam mengatasi tingkat kecukupan
modal. Tetapi apabila dikaji lebih jauh ternyata kesejahteraan yang diberikan
oleh keperasi hanya memprioritaskan kepada para anggota koperasi, sehingga bagi
masyarakat yang bukan anggota koperasi masih mempunyai beberapa kendala. Di samping
itu koperasi lebih familiar pada golongan masyarakat pedesaan atau golongan
tertentu. Sebagian besar masyarakat lebih cenderung memilih bank sebagai salah
satu pemberi kecukupan modal.
Akan tetapi dalam
perbankan, kita sering mendengar adanya beberapa permasalahan seperti kredit
macet dan asimetri informasi sehingga tidak semua individu dapat meminjam modal
di lembaga perbankan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang kurang
mengerti tentang tata cara meminjam di lembaga perbankan yang cukup rumit bagi
sebagian orang.
LBC (Level Bank
Corporation) muncul sebagai jawaban atas permasalahan di atas, dimana di sini
LBC merupakan transformasi dari Grameen
Bank, APEX BPR serta koperasi yang merupakan badan usaha asli milik
Indonesia. LBC tidak hanya mengatasi kekurangan modal yang ada di Indonesia
baik itu di pedesaan ataupun perkotaan. Akan tetapi di sini LBC juga memberikan
pendidikan tentang dunia perbankan terutama bagi individu pedesaan yang masih
sangat awam akan dunia perbankan.
LBC membawa gaya
modern perbankan dengan tidak meninggalkan ruh yang terdapat pada koperasi.
Kerjasama, gotong royong, dan tanggung renteng yang merupakan ciri utama bangsa
Indonesia melekat kuat dalam LBC. Kecukupan jumlah modal pinjaman yang sering
berbeda di kalangan perkotaan dan desa bisa diatasi dengan adopsi dari Grameen
Bank dan APEX BPR.
Sementara persaingan
yang dapat membunuh salah satu dari lembaga perbankan atau badan usaha yang
bersaing dapat dihindari dengan metode pembagian saluran kredit. Dimana pada
masyarakat pedesaan lebih disarankan pada model Grameen Bank karena lebih
dikarenakan masyarakat desa sebagian besar masih kurang pengetahuan tentang
dunia perbankan, memiliki rasa gotong royong tinggi bersifat kekeluargaan dan
jumlah pinjaman yang nominalnya relitif kecil dibandingkan masyarakat
perkotaan.
Sementara bagi
warga kota lebih di dasarkan kepada APEX BPR dikarena masyarakat kota sebagian
besar bersifat individual, memiliki kemampuan perbankan jauh lebih baik
daripada masyarakat desa dan pada umumnya mengajukan jumlah pinjaman jauh lebih
besar daripada masyarakat desa.
Dengan adanya LBC
pada dunia perbankan di Indonesia diharapkan membawa angin segar bagi
pengembangan dunia perbankan yang ada di Indonesia dan diharapakan dapat
menjadi obat bagi permasalahan kecukupan mdal di daerah desa dan kota dalam
mengatasi kemiskinan yang ada di Indonesia.
PENUTUP
Perbankan Indonesia merupakan suatu lembaga penting dan vital dalam
memberantas kemiskinan. Peran lembaga perbakan lebih difokuskan bagaimana cara
memberantas kemiskinan dengan memberikan kredit kepada lapangan usaha kecil
yang terdapat di Indonesia. Usaha kecil yang terdapat di Indonesia identik
dengan masyarakat miskin yang kekurangan modal sehingga usaha kecilnya sendiri
kurang dapat berjalan dan tumbuh dengan baik. Hal ini merupakan suatu
permasalahan tersendiri bagi usaha kecil tersebut karena pihak perbankan
biasanya hanya akan memberikan kredit terhadap individu yang mempunyai record
yang bagus.
Tidak hanya berhenti sampai disini saja, tetapi permasalahan selanjutnya
adalah apabila kredit ini hanya disalurkan begitu saja secara random,
ditakutkan kredit yang diberikan tidak tepat guna. Di sini ada perbedaan
tentang kondisi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan, dimana mempunyai kondisi
yang berbeda jika dilihat dari kebutuhan modal, pendidikan, kelembagaan dan
jenis usaha kecil yang ada. Di daerah pedesaan disarankan mampu mengadopsi
sistem model Grameen Bank karena dengan adanya sistem ini masyarakat desa tidak
hanya diberkan kredit ringan tanpa agunan yang bersifat tanggung renteng tetapi
juga diberikan pengetahuan mendasar tentang sistem perbankan yang selama ini
mayoritas penduduk desa kurang mengerti apa itu perbankan.
Sedangkan penanggulangan kemiskinan dan bantuan modal kredit produktif bagi
masyarakat miskin kota di sini penulis menggunakan model APEX BPR, dimana model
tersebut merupakan gabungan dari perbankan umum dan BPR yang ada di daerah
tersebut. Dengan adanya APEX BPR diharapkan modal yang disalurkan dalam
pemberian kredit dapat dengan tepat dan bertambah volume penyalurannya kepada
masyrakat miskin kota yang berbeda dengan masyarakat miskin desa.
Dengan adanya penanggulangan kekurangan modal di wilayah desa ataupun kota
bagi perkreditan yang diajukan oleh usaha kecil bagi masyarakat miskin, dimana
di sini APEX BPR ditujukan sebagai lembaga penyedia kredit bagi masyarat miskin
kota, sedangkan Grameen Bank sebagai lembaga penyedia kredit bagi masyarakat
miskin desa diperlukannya sebuah aturan untuk mengatur kegiatan perkreditan
tersebut.
Perlunya dikaji lebih lanjut mengenai penggolongan kemiskinan di Indonesia,
mengingat setiap periodenya pendapatan, jumlah warga miskin selalu berubah –
ubah sesuai dengan keadaan ekonomi suatu negara. Tujuan dari pengkajian ini
tidak lain adalah supaya sasaran yang diharapkan dalam pengajuan kredit bisa
tepat sasaran.
Perlu ada lembaga khusus yang menangani permasalahan ini dengan serius,
menginagt model yang akan diterapkan nantinya merupakan model baru yang belum
pernah diterapkan sebelumnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adiatman, P.S; 1999. Peranan Kredit Sebagai Piranti
Pengentasan Kemiskinan
(Replikasi Grameen Bank di Indonesia), Skripsi, Jakarta: Sekolah Tinggi Ilrnu Ekonomi Perbanas, Jurusan Manajemen
Keuangan.
Chotim, Erna Ermawati dan Tharnrin,Juni (ed.). 1997. Diskusi Ahli: Pemberdayaan & Replikasi Aspek
Finansial Usaha Kecil Di Indonesia. Yayasan AKATIGA, PEP-LIPI, Yayasan Mitra Usaha dan The Asian Foundation. Bandung.
Dede Haeruddin
(Pyn), 1999. Aneka Skim
Kredit Untuk Modal Usaha. Yayasaan Bhakti Kencana. Jakarta.
Firmansyah (2000). Implikasi Model Grameen Bank di Kabupaten Magetan, dalam bukunya "Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui Grameen
Bank" (Pny. Mahmud Thoha), PEP - LIPL Jakarta_
Gunardi, Harry Seldadyo Dkk, 1994. Kredit Untuk Rakyat. Akatiga. Bandung.
Rasahan, C.A. dan Syukur, M (1997), Karya
Usaha Mandiri, Arah Baru Menjangkau Golongan Termlskin
di Pedesaan, dalam Danusaputro,
M.,et.al., (1997), Monetisasi Pedesaan: Bunga Rampai Keuangan Pedesaan, Edisi Kedua, Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Sudaryanto,
Tahlim, 1999. Perspektif Pembangunan
Ekonomi Pedesaan Dalam Era. Pasar Bebas. Seminar Nasional Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan Dalam. Era Otonomi Daerah. Bogor, 16 - 17
November 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Suharto, Pandu, 1989. Grameen Bank, "
Sebuah Model Bank Untuk Orang miskin di
Bangladesh". Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Jakarta.
---------- 1996. Petunjuk Pelaksanaan Sistem Perkreditan Grameen Bank di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Mitra Usaha, tidak
dipublikasikan.
---------- ,
1996. 100
Tahun BPR Di Indonesia 1895 - 1995. InfoBank.
Cetakan Pertama. Jakarta.
----------- , 2012. APEX Bank. Bank Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta.
---------- ,
dan Hafid, A. 1997. Pelaksanaan Pola Grameen Bank di Bangladesh dan Malaysia,
dalam Danusaputro, et al., "Monetisasi Pedesaan: Bunga Rampai
Keuangan Pedesaan, Edisi
Kedua, Institut Bankir Indonesia, Jakarta.
Supramono, Gatot,
1996.. Perbankan Dan Masalah Kredit "Suatu Tinjauan Yuridis". Cetakan Kedua.
Penerbit Djambatan. Jakarta.
Thoha, Mahmud (Peny), 2000. Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui Model Grameen
Bank. Puslitbang Ekonomi dan
Pembangunan -
LIPI, Jakarta
Zain, Djumilah, 1993. Kaji Tindak
Lembaga Keuangan Pedesaan Untuk Membantu
Masyarakat Miskin di Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar, Usulan Penelitian, Malang. Lembaga Penelitian
Universitas Brawijaya.
---------- 1996. Strategi Pengentasan Kemiskinan Melalui Bantuan Modal Bagi Rumah
Tangga Miskin
di
Pedesaan, Laporan
Penelitian. Jawa Timur. Malang. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya.
, 1998.
Strategi Pengentasan Kemiskinan Melalui
Bantuan Modal Bagi Rumah Tangga Miskin
di Pedesaan, Rangkuman Hasil Penelitian. Jawa Timur. Malang.
Lembaga Penelitian Universitas
Brawijaya.
1998. Pemberdayan Keluarga
Miskin Melalui Pemberian Kredit Model Grameen Bank. Makalah Seminar di LIPI, Jakarta 13 Oktober 1998.